Kantor redaksi Charlie Hedo di
Paris, beberapa waktu lalu dan menewaskan sedikitnya 11 orang
serta melukai 10 orang lainnya, BBC Inggris melaporkan. Itu
adalah serangan kedua setelah November 2011, kantor majalah yang sama dilempar
molotov menyusul sikap redaksi yang menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai
pemimpin redaksi. Banyak pihak yang menyayangkan adanya serangan tersebut, akan
tetapi beberapa yang berbeda pendapat menguatkan serangan tersebut dengan dalih
yang tentu bukan sembarang dalih.
Sebuah Ingatan
Suatu peristiwa tentu akan
menimbulkan suatu ingatan. Ingatan yang mungkin timbul di kepala kita ketika
mendengar peristiwa Charlie Hebdo barangkali ialah tentang kebebasan yang
bergerak melawan rezim ortodok. dimana dalam kasus ini kita seringkali
mengambil ingatan akan zaman renaissance yang waktu itu ilmu pengetahuan
sebagai wakil dari paham kebebasan mengalami ketertidasan dibawah rezim ortodok
yakni agama. Hampir dari kita semua telah mengenang kisah akan Boruch Spinoza
yang di cap sesat oleh yahudi, atau Galileo yang dihukum mati oleh Kristiani.
Dengan mengambil Ingatan ala zaman Renaissance, akan terbentuk suatu persepsi
dalam pikiran kita yang kemudian dari persepsi tersebut mampu memutuskan
keberpihakan kita. Inilah hal yang sering menjadi salah kaprah dewasa ini.
Sejarah memang mampu mengajarkan banyak hal kepada kita, akan tetapi
ketika kita masuk dalam proses mengingat kembali, Proses mengingat kembali tersebut
tidaklah sama dengan konsep ala Plato (reminiscentia).
Diana dalam konsep tersebut dijelaskan bahwa sebenarnya jiwa sebelum terpenjara
di dalam tubuh, ia berada di suatu tempat di mana dia memandang ide-ide yang
abadi. Artinya bahwa proses pengetahuan merupakan pengingatan kembali. Akan tetapi
kita tidaklah dapat mengambil proses mengingat kembali sepenuhnya dari konsep Plato
ini. Mengingat kembali dengan cara menelan bulat-bulat suatu sejarah sangat
mungkin menimbulkan salah tafsir. Jadi dengan metode mengingat kembali secara
bulat-bulat hanya akan menghasilkan pengetahuan yang salah atau palsu.
Pengetahuan yang salah hanya akan menyebabkan terjadinya masalah baru.
Untuk mengatasi kesalahpahaman dalam proses
reminiscentia. alangkah bijaknya jika kita mengambil konsep ruang dan waktu
dalam memahami sejarah Renaissance. Ruang dan waktu ialah materi pembentuk dari
suatu horizon bagi pemahaman, hal ini menjadi penting mengingat pemahaman (verstehen) akan suatu peristiwa lampau sangat rawan disalah artikan
Tempat
dan waktu yang berbeda
Ketika kita
memasuki cakrawala Renaissance, kita akan ditawarkan untuk melihat suatu
kondisi yang berbeda, Agama pada saat itu merupakan satu-satunya metode yang
digunakan untuk memperoleh kebenaran. Walaupun tidak dipungkiri metode lain
yang muncul pada saat itu, akan tetapi dapatlah kita katakan metode tersebut
masih bersifat marjinal, dan jarang digunakan oleh kebanyakan orang. Metode ilmu
pengetahuan yang paling sering digunakan adalah metode ala gereja, Dimana pada
masa sebelumnya yang menjadi puncak kejayaan gereja yakni pada era scholastik
setiap metode ilmu pengetahuan yang masuk haruslah di sesuaikan dengan ajaran
gereja, Dari era scholastik ini kita dapat dapat menemukan para teolog besar
layaknya St. Aquinas dan St Agustinus, mereka merupakan filsuf yang mengambil
pemikiran dari Plato dan Aristoteles dan memasukkannya dalam ajaran gereja.
Dengan adanya
penyesuaian tersebut praktis Gereja menjadi pusat kebenaran pada masanya,
Sebagai satu- satunya kebenaran yang ada di dunia gereja segera menjelma
menjadi sebuah kekuasaan yang absolut. Dengan kekuasaan (Power) inilah Gereja
menjelma menjadi rezim otoriter yang semen-mena di zaman itu. Pada waktu itu
jika kita menjadi pengamat yang objektif tentu kita akan mampu menangkap
keberpihakan kita, kebanyakan dari kita akan mengecam tindakan gereja yang semen-
mena dalam menghakimi pihak-pihak yang bersebrangan dengannya.
Akan
tetapi situasi tersebut sangat berbeda
dengan situasi saat ini, Untuk melihat hal tersebut, pertama-tama kita harus
mampu memisahkan suatu perbedaan antara dua pihak, “mana yang menindas” dan “mana
yang ditindas”. Mereka yang menindas merupakan suatu kekuatan yang besar yang sering
kali bertindak semena-mena dan menghakimi pihak lain secara tidak adil,
sedangkan mereka yang ditindas ialah mereka yang selalu berada dalam posisi
teraniaya dan tersudutkan oleh pemegang kekuatan besar. Pertanyaannya ialah
siapakah saat ini yang memang merupakan suatu kekuatan besar, Agama atau Pengetahuan
ilmiah modern??.
Rezim yang
sebenarnya
Semenjak era pencarahan dimana naiknya
paham empirisme yang didalangi Locke dan Hume ke permukaan seakan mensahkan
metode pengetahuan tersebut sebgai suatu metode yang diakui secara universal,
hal ini kemudian dilengkapi dengan positivisme Comte dan metode deduktif Francis
Bacon yang kemudian melahirkan keilmuan
Sains. Dalam Perkembangannya Sains menunjukkan berbagai kemajuan dalam
pengetahuan manusia, yang kemudian dengan alasan tersebut Sains mampu mengambil
hati kebanyakan manusia di era sekarang sebagai metode pengungkap kebenaran
yang sesungguhnya. Jika Renaissance dan pencerahan dianggap sebagai masa
transisi maka pada saat modern inilah hasil yang sesungguhnya dipetik oleh
pengetahuan ilmiah ini,
Pada zaman ini dengan berkuasannya
pengetahuan ilmiah, kita akan mampu melihat tindakan-tindakan otoriter yang
sebenarnya, kita akan sering melihat
medan-medan pelecehan agama, baik berupa karikatur, argumen-argumen dll,
semua hal ini digunakan sembari berlindung dibalik topeng kebebasan berpendapat.
Konsep tentang kebebasan layak dan perlu untuk du ciri utama dari sebuah rezim,
jika dahulu Agama membunuhi para filsuf
dan ilmuwan, sekarang tampaknya tak diperlukan pembunuhan secara fisik, akan
tetapi ketika anak-anak kita memasuki wilayah pendidikan formal, disanalah
pembunuhan yang sebenarnya telah terjadi.
Pembunuhan yang dimaksud ialah
pembunuhan cara berfikir, kita menyadari bahwa cara berfikir agama dan metafisika
bukanlah pilihan pertama dalam menyelesaikan atau menjelaskan suatu peristiwa,
hal ini yang diajarkan oleh pendidikan kita. Bukanlah bermaksud untuk
mendiskritkan pendidikan ilmiah, akan tetapi aspek keseimbangan dalam
pengajarannya diperlukan mengingat pendidikan kita juga tak sepenuhnya sekuler.
Keotoriteran yang berawal dalam
lingkup sekolah ini kemudian berkembang hingga keluar sekolah, dari sekolah ke
kehidupan masyarakat, Perlu diingat bahwa secara umum pola pikir anak
ditentukan oleh sekolahnya, cara pandang seorang anak terhadap kehidupan ketika
dewasa merupakan andil besar dari sekolah yang membentuknya. Berawal dari sini
agama semakin dimarjinalkan dalam lingkup ilmu pengetahuan. Tuduhan akan
takhayul, mitos dan dongeng sering kali kita dengar dalam diskusi-diskusi ilmiah
kita. Dan alat untuk menutupi tindakan otoriter tersebut ialah konsep
kebebasan.
Kebebasan
sebagai senjata rezim
Kebebasan telah menggiring
manusia menuju tahap penghancuran total, keruntuhan budaya dan peradaban akan
segera kita saksikan ketika konsep ini bergerak semakin tak terkendali. Banyak
pihak sering kali berdalih bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat
tetap terjaga selama ada hukum etik dan moral yang mendampinginya, Tapi agaknya
pihak tersebut melupakan sesuatu, bahwa etika sekarang berada dalam pusaran
relativis, Diana tidak memiliki esensi yang jelas dan tetap, sehingga etika
sekarang yang dipahami oleh kebanyakan orang ialah etika yang berupa hasil
kesepakatan umum dan tidak memiliki esensi kebaikan secara abadi
Atas dasar itu maka etika menjadi
terlalu lemah untuk digunakan sebagai pengontrol konsep kebebasan, etika sering
kali digiring menuju relativis yang subjektif, sehingga tidak ada jaminan bagi
etika, sementara konsep kebebasan semakin bergerak liar, etika tak mampu banyak
berbuat untuk menghentikannya.
Lalu kemudian muncul sebuah
pertanyaan Sebenarnya apa kebebasan itu?? Hal ini bukanlah pertanyaan yang tepat untuk
ditanyakan saat ini, kebebasan secara esensi bukanlah hal yang penting, akan tetapi
kegunaan dari kebebasan Lay yang seharusnya menjadi fokus dari perhatian kita. Lalu
kemudian muncul pertanyaan, untuk apa kebebasan tersebut?? Mengingat segala
sesuatu mesti dan harus memiliki nilai guna, kebebasan tentu merupakan suatu
konsep yang berguna, akan tetapi untuk apa kegunaannya manusia sekarang sering
salah dalam mengaplikasikannya.
Konsep kebebasan awalnya lahir sebagai
upaya perlawanan dari sebuah rezim yang otoriter. Inilah kunci dari kebebasan
yakni perlawanan terhadap rezim. Dapatlah kita tengok ke belakang ketika kata “merdeka”
yang bermakna “bebas mandiri” muncul ketika bangsa kita ditindas oleh penjajah,
atau kata “liberte” menjadi semboyan revolusi Prancis, Dimana sebelum revolusi,
rakyat Prancis mengalami penindasan di bawah Louis XVI yang otoriter.
Penggunaan konsep kebebasan yang semula berfungsi untuk membebaskan manusia
dari rezim, pada saat ini justru terjadi sebaliknya.
Kebebasan menjadi senjata bagi
rezim pengetahuan ilmiah untuk memukul telak Agama, kiranya tak perlu lagi
disebutkan contoh di sini, karena memang sudah teramat banyak contohnya yang
terjadi disekeliling kita. Penggunaan konsep kebebasan untuk memperpanjang
hegemoni sebuah rezim merupakan bentuk penghianatan para intelektual terhadap
konsep kebebasan itu sendiri. kata “kebebasan” yang sering kita dengar sekarang
bukanlah kata yang sama dengan kata “kebebasan” yang didengungkan oleh para
pejuang kemerdekaan dulu. Pada era perjuangan kemerdekaan, Kata “Kebebasan”
digunakan untuk berjuang secara patriotik oleh para pejuang kita, akan tetapi
kata “kebebasan” sekarang digunakan oleh para intelektual untuk melayani rezim
yang berkuasa.
Sang rezim
Charlie
Akhirnya, kita harus kembali
mempelajari banyak hal sebelum memutuskan untuk berpihak, didepan kita ada dua
pihak yang saling berhadapan, yakni pihak rezim Charlie dan pihak Agama. Saling
berhadapannya kedua pihak ini bukanlah sesuatu yang aneh mengingat memang ada
sejarah panjang diantara keduannya, yakni sejarah tentang benturan antara ilmu
pengetahuan dan agama.
Mungkin memang
benar hukum dunia ini bagaikan roda yang berputar, kadang dibawah dan kadang
diatas, pada gilirannya dan memang saat ini ialah giliran bagi agama untuk di
bawah dikecam. Akan tetapi hendaknya penglihatan kita mesti lebih jernih lagi,
yakni dengan melihat peristiwa ini sebagai sebuah penindasan, bukan hanya
sebatas tukar posisi antara pengetahuan dan agama. Dalam sejarah manapun di
dunia ini penindasan ialah sebuah kejahatan yang harus dilawan, bukan hanya
diperhatikan sambil berkata bahwa itu merupakan hukum alam.
Di ujung kata,
kita memang harus memilih, memilih untuk berpihak, entah pada siapa kita
berpihak, itu merupakan hak setiap orang, yang jelas ilham ada dua didepan
kita, yakni memperjuangkan pembebasan dari rezim atau bergabung bersama rezim
Charlie dll.