Krisis Pemikiran (Amateur Version)

Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Sabtu, 06 April 2019



Dahulu kala musik merupakan sebuah instrument spiritual yang berfungsi untuk melakukan pemujaan kepada ruh yang lebih tinggi

Dangdut Koplo, merupakan sebuah jenis musik yang menguasai jagat permusikan nasional, jenis musik ini sering pula disebut  musik “predator”, hal ini dikarenakan kekuatannya dalam beradaptasi dengan zaman, ketika aliran musik musik lain dipukul mundur oleh arus zaman, maka jenis musik ini cenderung mampu untuk tetap eksis. Ada beberapa analisa tentang konsisten nya musik ini di industri musik nasional, Pertama  musik ini seperti orang sering bilang, disebut dengan musik predator, hal ini dikarenakan kemampuan imitasi musik ini sangatlah luar biasa, segala jenis musik ketika dihadapkan dengan dangdut koplo maka dengan sendirinya akan diadaptasi secara lebih baik.

Selasa, 17 Oktober 2017




             “Prinsip yang ingin dibangun Presiden dari pertama kali menjabat adalah “Kerja, Kerja, Kerja”

Hampir tak terasa 5 tahun periode kepemimpinan presiden kita akan segera berakhir, sungguh sebuah periode yang ramai telah disuguhkan kepada kita, bumbu-bumbu media massa mewarnai periode tersebut dengan ciri khas mereka masing-masing, akan tetapi tentu bukan tema hiruk pikuk periode tersebut yang akan penting untuk di bahas, Akan tetapi sebuah evaluasi kritis terhada kepemimpinan yang selama ini dirasakan agaknya penting untuk didalami.
Tidaklah terlalu sulit kiranya guna menggambarkan garis besar dari kepemimpinan “sang presiden”, masa kepemimpinan yang akan berakhir ini bisa kita gambarkan dengan kata kunci, slogan beliau yakni, “KERJA, KERJA, KERJA”. Sedikit analisa semiotik bahasa, jelas dapat kita tangkap makna akan kata “kerja” yang memiliki arti sebuah tindakan (action) dan terdapat pengulangan sebanyak tiga kali, yang menjelaskan kesungguhan/penekanan, jadi agaknya dapat diambil sebuah kesimpulan akan slogan tersebut yang bermakna suatu aksi adalah yang paling utama.

“sebuah kesimpulan akan slogan tersebut yang bermakna suatu aksi adalah yang paling utama” 

“Aksi” atau “Tindakan nyata” agaknya mampu menghantarkan presiden ke istana negara pada 2014 lalu, kata tersebut memang sangat digemari oleh masyarakat, dimana hal ini jika ditarik dalam ranah pembahasan yang mendalam akan tertumpu pada paradigma filosofis populer abad ini. Suatu ‘aksi atau tindakan’ merupakan lawan kata dari ‘konsep atau teori’ dimana dua hal tersebut seharusnya bersifat diaklektis dan saling melengkapi, Akan tetapi kecenderungan dewasa ini adalah memilah antara dua kata tersebut, dan lebih parahnya bahkan memilih salah satu dari dua kata tersebut.
Pemilihan seperti itu akan mengakibatkan sebuah konsekuensi npenghilangan kata yang lain, ketika anda memilih tindakan anda haruslah meniadakan konsep dan begitu sebaliknya, hal ini menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan dalam beraktivitas, agak anaeh kiranya jika ber”aksi” tanpa “konsep” dan berkonsep tanpa aksi. Tetapi inilah suatu paradigma sosial kita, dimana ketika suatu aksi dianggap lebih penting, maka yang terjadi adalah hilangnya konsep dan teori yang berakibat kesemrawutan bekerja, dikarenakan tidak adanya sinkronasi antara aksi dan teori yang jelas.

“Bertindakan lebih baik dari pada berteori”

Kalimat diatas jelas merupakan kalimat yang indah, kalimat yang dimaknai secara mendalam dalam hati sanubari masyarakat, entah darimana kalimat ini datang, akan tetapi jelas kalimat ini merupakan jimat dan mantra bagi masyarakat kita, dan sering kita tampilkan dalam jendela media sosial kita, entah sebagai kalimat mutiara atau sebagai kalimat penyemangat. Akan tetapi jelas, seperti yang sudah tertera sebelumnya, kalimat ini memiliki konsekuensi yang tidaklah kecil. Alih alih menutupi dampak negatifnya kalimat ini mampu menyedot animo masyarakat luas, sehingga sering digunakan sebagai sebuah jargon politik, dan tentu digunakan dengan sangat baik oleh Presiden kita, guna memenangkan pemilu 2014.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, kalimat tersebut berasal dari suatu pandangan akan lebih pentingnya aksi dibandingka teori/konsep/gagasan, yang bilamana dijelaskan lebih jauh dalam sitematika ilmu pengetahuan, kata aksi mewakili jenis dari pengetahuan teknis. Aksi atau tindakan bersifat pragmatis, yakni suatu hal yang mudah diterapkan ataupun dipraktikkan,  sifat pragmatis ini melekat dalam ilmu pengetahuan teknis (fisika,kimia,TI, biologi geografi,otomotif,mesin dll) yang mengandalkan eksperimentasi yang berbentuk pembuktian, dalam wilayah-wilayah keilmuan tersebut praktik dan eksperimen menempati posisi yang peting guna mengabsahkan suatu gagasan.

Rabu, 27 Mei 2015



Paradoxs, ya begitulah kehidupan ini, Terus berubah- ubah dan tak sering menghasilkan kekecewaan  bagi beberapa orang yang menjalaninya, Hal ini membuat serpihan ingatan terbang menuju bait puisi mistik :

Janganlah engkau mencela suatu zaman,
Akan tetapi celalah mereka-mereka yang menjalani zaman tersebut.

Bagi saya terdapat suatu peringatan dalam bait puisi tersebut, dimana objek tidaklah layak kita cela, akan sangat keliru jika fokus umpat umpatan kekecewaan kita, Ditujukan kepada objek yang bernama “Zaman” atau “Kehidupan”. Isyarat akan kekecewaan yang berupa “Celaan” lebih efektif jika ditujukan kepada subjek, subjek-subjek yang baik akan membentuk zaman yang baik dan sebaliknya. Akan tetapi ketika berbicara tentang subjek, kita dihadapkan tentang sebuah kesatuan yang kompleks dan berubah-ubah.
Dikatakan kompleks, karena penyusun manusia memang terdiri dari struktur-struktur yang sedemikian rumitnya, layaknya struktur fisik, psikis, biologi, linguistik, kognitif dll. Bisa dikatakan bahwa, manusia merupakan suatu misteri besar bagi manusia itu sendiri. Sedangkan dikatakan berubah- ubah, ialah sebuah sifat dimana manusia itu menjalani hidupnya, Heraklaitos mengatakan segala sesuatu di jaga raya ini memiliki sifat berubah-ubah (mengalir), seperti dalam perkataannya:

Semuanya mengalir, tidak ada satupun yang tetap tinggal...
Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama...

Sungai yang terus mengalir, yang menyebabkan sungai itu tidaklah sama antara waktu pertama kali kita menemuinya dan waktu-waktu selanjutnya. Begitu pula kondisi kesadaran manusia, senantiasa mengalami perubahan, yang terkadang dipengaruhi oleh kondisi dan waktu. Perubahan-perubahan ini yang kemudian membuat manusia begitu sulit ditafsirkan, dikarenakan jika suatu hal terus berubah, akan menjadi sulit untuk untuk menentukan sebuah struktur dasar yang sama bagi manusia itu sendiri. Beragam cara telah digunakan oleh para pemikir-pemikir besar dunia guna menafsirkan manusia, salah satunya dalam wilayah ilmu gestalt, dikenal nama Jacques Lacan, Pemikir asal Prancis yang beraliran Psikoanalisa.
Lacan menyebutkan adanya struktur dasar dari kesadaran manusia, yakni sebuah struktur yang terpendam dalam alam bawah sadar, Hal ini yang kemudian ia namakan “Hasrat”, hasrat ini sepertinya ia dapatkan dari konsep Hegel, sedangkan alam bawah sadar (unconciosnes) ia dapatkan dari konsep pemikiran Freud, mengingat Lacan merupakan pengikut  dari Freud, yang menganggap bahwa ketidak sadaran merupakan pijakan manusia dalam mengambil keputusan maupun tindakan, yang tentu saja hal tersebut merupakan perlawanan dari kesadaran rasio ala cartesian.

Rabu, 21 Januari 2015


Kantor redaksi Charlie Hedo di Paris, beberapa waktu lalu dan menewaskan sedikitnya 11 orang serta melukai 10 orang lainnya, BBC Inggris melaporkan. Itu adalah serangan kedua setelah November 2011, kantor majalah yang sama dilempar molotov menyusul sikap redaksi yang menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin redaksi. Banyak pihak yang menyayangkan adanya serangan tersebut, akan tetapi beberapa yang berbeda pendapat menguatkan serangan tersebut dengan dalih yang tentu bukan sembarang dalih. 

Sebuah Ingatan
Suatu peristiwa tentu akan menimbulkan suatu ingatan. Ingatan yang mungkin timbul di kepala kita ketika mendengar peristiwa Charlie Hebdo barangkali ialah tentang kebebasan yang bergerak melawan rezim ortodok. dimana dalam kasus ini kita seringkali mengambil ingatan akan zaman renaissance yang waktu itu ilmu pengetahuan sebagai wakil dari paham kebebasan mengalami ketertidasan dibawah rezim ortodok yakni agama. Hampir dari kita semua telah mengenang kisah akan Boruch Spinoza yang di cap sesat oleh yahudi, atau Galileo yang dihukum mati oleh Kristiani. Dengan mengambil Ingatan ala zaman Renaissance, akan terbentuk suatu persepsi dalam pikiran kita yang kemudian dari persepsi tersebut mampu memutuskan keberpihakan kita. Inilah hal yang sering menjadi salah kaprah dewasa ini.
  Sejarah memang mampu mengajarkan banyak hal kepada kita, akan tetapi ketika kita masuk dalam proses mengingat kembali, Proses mengingat kembali tersebut tidaklah sama dengan konsep ala Plato  (reminiscentia). Diana dalam konsep tersebut dijelaskan bahwa sebenarnya jiwa sebelum terpenjara di dalam tubuh, ia berada di suatu tempat di mana dia memandang ide-ide yang abadi. Artinya bahwa proses pengetahuan merupakan pengingatan kembali. Akan tetapi kita tidaklah dapat mengambil proses mengingat kembali sepenuhnya dari konsep Plato ini. Mengingat kembali dengan cara menelan bulat-bulat suatu sejarah sangat mungkin menimbulkan salah tafsir. Jadi dengan metode mengingat kembali secara bulat-bulat hanya akan menghasilkan pengetahuan yang salah atau palsu. Pengetahuan yang salah hanya akan menyebabkan terjadinya masalah baru.
 Untuk mengatasi kesalahpahaman dalam proses reminiscentia. alangkah bijaknya jika kita mengambil konsep ruang dan waktu dalam memahami sejarah Renaissance. Ruang dan waktu ialah materi pembentuk dari suatu horizon bagi pemahaman, hal ini menjadi penting mengingat pemahaman (verstehen) akan suatu peristiwa lampau sangat rawan disalah artikan

Tempat dan waktu yang berbeda
          Ketika kita memasuki cakrawala Renaissance, kita akan ditawarkan untuk melihat suatu kondisi yang berbeda, Agama pada saat itu merupakan satu-satunya metode yang digunakan untuk memperoleh kebenaran. Walaupun tidak dipungkiri metode lain yang muncul pada saat itu, akan tetapi dapatlah kita katakan metode tersebut masih bersifat marjinal, dan jarang digunakan oleh kebanyakan orang. Metode ilmu pengetahuan yang paling sering digunakan adalah metode ala gereja, Dimana pada masa sebelumnya yang menjadi puncak kejayaan gereja yakni pada era scholastik setiap metode ilmu pengetahuan yang masuk haruslah di sesuaikan dengan ajaran gereja, Dari era scholastik ini kita dapat dapat menemukan para teolog besar layaknya St. Aquinas dan St Agustinus, mereka merupakan filsuf yang mengambil pemikiran dari Plato dan Aristoteles dan memasukkannya dalam ajaran gereja.
          Dengan adanya penyesuaian tersebut praktis Gereja menjadi pusat kebenaran pada masanya, Sebagai satu- satunya kebenaran yang ada di dunia gereja segera menjelma menjadi sebuah kekuasaan yang absolut. Dengan kekuasaan (Power) inilah Gereja menjelma menjadi rezim otoriter yang semen-mena di zaman itu. Pada waktu itu jika kita menjadi pengamat yang objektif tentu kita akan mampu menangkap keberpihakan kita, kebanyakan dari kita akan mengecam tindakan gereja yang semen- mena dalam menghakimi pihak-pihak yang bersebrangan dengannya.
          Akan tetapi  situasi tersebut sangat berbeda dengan situasi saat ini, Untuk melihat hal tersebut, pertama-tama kita harus mampu memisahkan suatu perbedaan antara dua pihak, “mana yang menindas” dan “mana yang ditindas”. Mereka yang menindas merupakan suatu kekuatan yang besar yang sering kali bertindak semena-mena dan menghakimi pihak lain secara tidak adil, sedangkan mereka yang ditindas ialah mereka yang selalu berada dalam posisi teraniaya dan tersudutkan oleh pemegang kekuatan besar. Pertanyaannya ialah siapakah saat ini yang memang merupakan suatu kekuatan besar, Agama atau Pengetahuan ilmiah modern??.


Rezim yang sebenarnya
Semenjak era pencarahan dimana naiknya paham empirisme yang didalangi Locke dan Hume ke permukaan seakan mensahkan metode pengetahuan tersebut sebgai suatu metode yang diakui secara universal, hal ini kemudian dilengkapi dengan positivisme Comte dan metode deduktif Francis Bacon  yang kemudian melahirkan keilmuan Sains. Dalam Perkembangannya Sains menunjukkan berbagai kemajuan dalam pengetahuan manusia, yang kemudian dengan alasan tersebut Sains mampu mengambil hati kebanyakan manusia di era sekarang sebagai metode pengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Jika Renaissance dan pencerahan dianggap sebagai masa transisi maka pada saat modern inilah hasil yang sesungguhnya dipetik oleh pengetahuan ilmiah ini,
Pada zaman ini dengan berkuasannya pengetahuan ilmiah, kita akan mampu melihat tindakan-tindakan otoriter yang sebenarnya, kita akan sering melihat  medan-medan pelecehan agama, baik berupa karikatur, argumen-argumen dll, semua hal ini digunakan sembari berlindung dibalik topeng kebebasan berpendapat. Konsep tentang kebebasan layak dan perlu untuk du ciri utama dari sebuah rezim, jika dahulu Agama  membunuhi para filsuf dan ilmuwan, sekarang tampaknya tak diperlukan pembunuhan secara fisik, akan tetapi ketika anak-anak kita memasuki wilayah pendidikan formal, disanalah pembunuhan yang sebenarnya telah terjadi.
Pembunuhan yang dimaksud ialah pembunuhan cara berfikir, kita menyadari bahwa cara berfikir agama dan metafisika bukanlah pilihan pertama dalam menyelesaikan atau menjelaskan suatu peristiwa, hal ini yang diajarkan oleh pendidikan kita. Bukanlah bermaksud untuk mendiskritkan pendidikan ilmiah, akan tetapi aspek keseimbangan dalam pengajarannya diperlukan mengingat pendidikan kita juga tak sepenuhnya sekuler.
Keotoriteran yang berawal dalam lingkup sekolah ini kemudian berkembang hingga keluar sekolah, dari sekolah ke kehidupan masyarakat, Perlu diingat bahwa secara umum pola pikir anak ditentukan oleh sekolahnya, cara pandang seorang anak terhadap kehidupan ketika dewasa merupakan andil besar dari sekolah yang membentuknya. Berawal dari sini agama semakin dimarjinalkan dalam lingkup ilmu pengetahuan. Tuduhan akan takhayul, mitos dan dongeng sering kali kita dengar dalam diskusi-diskusi ilmiah kita. Dan alat untuk menutupi tindakan otoriter tersebut ialah konsep kebebasan.


Kebebasan sebagai senjata rezim
Kebebasan telah menggiring manusia menuju tahap penghancuran total, keruntuhan budaya dan peradaban akan segera kita saksikan ketika konsep ini bergerak semakin tak terkendali. Banyak pihak sering kali berdalih bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat tetap terjaga selama ada hukum etik dan moral yang mendampinginya, Tapi agaknya pihak tersebut melupakan sesuatu, bahwa etika sekarang berada dalam pusaran relativis, Diana tidak memiliki esensi yang jelas dan tetap, sehingga etika sekarang yang dipahami oleh kebanyakan orang ialah etika yang berupa hasil kesepakatan umum dan tidak memiliki esensi kebaikan secara abadi
Atas dasar itu maka etika menjadi terlalu lemah untuk digunakan sebagai pengontrol konsep kebebasan, etika sering kali digiring menuju relativis yang subjektif, sehingga tidak ada jaminan bagi etika, sementara konsep kebebasan semakin bergerak liar, etika tak mampu banyak berbuat untuk menghentikannya.
Lalu kemudian muncul sebuah pertanyaan Sebenarnya apa kebebasan itu??  Hal ini bukanlah pertanyaan yang tepat untuk ditanyakan saat ini, kebebasan secara esensi bukanlah hal yang penting, akan tetapi kegunaan dari kebebasan Lay yang seharusnya menjadi fokus dari perhatian kita. Lalu kemudian muncul pertanyaan, untuk apa kebebasan tersebut?? Mengingat segala sesuatu mesti dan harus memiliki nilai guna, kebebasan tentu merupakan suatu konsep yang berguna, akan tetapi untuk apa kegunaannya manusia sekarang sering salah dalam mengaplikasikannya.
Konsep kebebasan awalnya lahir sebagai upaya perlawanan dari sebuah rezim yang otoriter. Inilah kunci dari kebebasan yakni perlawanan terhadap rezim. Dapatlah kita tengok ke belakang ketika kata “merdeka” yang bermakna “bebas mandiri” muncul ketika bangsa kita ditindas oleh penjajah, atau kata “liberte” menjadi semboyan revolusi Prancis, Dimana sebelum revolusi, rakyat Prancis mengalami penindasan di bawah Louis XVI yang otoriter. Penggunaan konsep kebebasan yang semula berfungsi untuk membebaskan manusia dari rezim, pada saat ini justru terjadi sebaliknya.
Kebebasan menjadi senjata bagi rezim pengetahuan ilmiah untuk memukul telak Agama, kiranya tak perlu lagi disebutkan contoh di sini, karena memang sudah teramat banyak contohnya yang terjadi disekeliling kita. Penggunaan konsep kebebasan untuk memperpanjang hegemoni sebuah rezim merupakan bentuk penghianatan para intelektual terhadap konsep kebebasan itu sendiri. kata “kebebasan” yang sering kita dengar sekarang bukanlah kata yang sama dengan kata “kebebasan” yang didengungkan oleh para pejuang kemerdekaan dulu. Pada era perjuangan kemerdekaan, Kata “Kebebasan” digunakan untuk berjuang secara patriotik oleh para pejuang kita, akan tetapi kata “kebebasan” sekarang digunakan oleh para intelektual untuk melayani rezim yang berkuasa.

Sang rezim Charlie
      Akhirnya, kita harus kembali mempelajari banyak hal sebelum memutuskan untuk berpihak, didepan kita ada dua pihak yang saling berhadapan, yakni pihak rezim Charlie dan pihak Agama. Saling berhadapannya kedua pihak ini bukanlah sesuatu yang aneh mengingat memang ada sejarah panjang diantara keduannya, yakni sejarah tentang benturan antara ilmu pengetahuan dan agama.
          Mungkin memang benar hukum dunia ini bagaikan roda yang berputar, kadang dibawah dan kadang diatas, pada gilirannya dan memang saat ini ialah giliran bagi agama untuk di bawah dikecam. Akan tetapi hendaknya penglihatan kita mesti lebih jernih lagi, yakni dengan melihat peristiwa ini sebagai sebuah penindasan, bukan hanya sebatas tukar posisi antara pengetahuan dan agama. Dalam sejarah manapun di dunia ini penindasan ialah sebuah kejahatan yang harus dilawan, bukan hanya diperhatikan sambil berkata bahwa itu merupakan hukum alam.

          Di ujung kata, kita memang harus memilih, memilih untuk berpihak, entah pada siapa kita berpihak, itu merupakan hak setiap orang, yang jelas ilham ada dua didepan kita, yakni memperjuangkan pembebasan dari rezim atau bergabung bersama rezim Charlie dll.

Kamis, 11 Desember 2014


Menjelang akhir tahun 2014, situasi perpolitikan di dalam negeri terasa semakin memanas. Kontruksi Trias Politica, Dimana kontrol terhadap pemerintahan di tangan parlemen terancam buyar ketika koalisi oposisi mulai tergerogoti, diakibatkan perpecahan secara internal dalam partai-partai pembentuk koalisi. Disana ada Golkar, partai berlambang pohon beringin yang telah malang melintang di dunia perpolitikan Indonesia sejak tahun 1964 memulai sebuah langkah mengejutkan pada tahun ini, dengan memilih berada dalam pihak oposisi.
Sebuah langkah berani yang tentunya meninggalkan beberapa resiko, Dimana banyak pihak dalam kondisi internal partai yang mulai melakukan perlawanan terhadap kebijakan tersebut. Berangkat dari kondisi tersebut mulailah muncul berbagai tudingan, intervensi pemerintah dianggap sebagai penyebab perpecahan di dalam partai.  Dimulai dari pernyataan  Menko Polhukam Tedjo Edi Purdijatno yang menyiratkan ketidakdukungannya terhadap munas Bali versi Ical. Seakan mengisyaratkan campur tangan pemerintah untuk mengambil alih Golkar via munas Ancol.
Ibarat teka-teki yang mudah tertebak, setelah prosesi munas Ancol yang mampu mengantarkan Agung Laksono sebagai ketum Golkar, maka dengan suara bulat Golkar memutuskan untuk menarik dukungan dari koalisi oposisi. Terlepas dari kepentingan politik manapun, ada semacam harapan dari masyarakat politik nusantara untuk dapat melihat kesolidan dari partai pohon beringin tersebut. Harapan dari masyarakat politik tersebut mewujud dalam sebuah bentuk akan idealisme Golkar. Suatu bentuk partai Golkar yang ideal, yang telah terlepas dari kepentingan politis pragmatis.

Idealisme Hegel
Kata idealisme sendiri mengigatkan akan filsafat idealisme, dalam wawasan filsafat, kata Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik, di Jerman sekitar abad ke 17 Gottfried Leibniz memberikan suatu penekanan tentang aliran idealisme yang menjadi counter terhadap aliran materialisme.
Hegel merupakan filsuf terbesar dalam filsafat idealisme, Hegel menggunakan dialektika dalam metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Proses perkembangan dunia selalu sesuai dengan hukum dialektika, bahkan terdengar metafisis ketika Hegel menyebutkan bahwa seluruh proses dunia atau sejarah merupakan proses perkembangan dari sebuah roh.
Hakikat dari roh adalah ide atau pikiran, dan dari pikiran kenyataan terbentuk, sepertidalam pernyataan Hegel “semua yang riil adalah rasio, rasio sama luasnya dengan realitas”  jadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ruh merupakan sebuah realitas. Selanjutnya Hegel juga menambahkan bahwa yang mutlak adalah roh, Roh pada mulanya berada dalam dirinya sesuai dengan hukum dialektika Roh meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada yang Mutlak.

Kembali ke Bumi
Pada pada kasus Dualisme Golkar, Hegel mungkin akan memandang perpecahan dalam internal Golkar sebagai Proses dialektika, Ketika Golkar versi Ical adalah tesa, mendapat perlawana dari Golkar versi Agung sebagai antitesa, yang berfungsi sebagai negasi terhadap esa. Akan tetapi konflik tersebut tidaklah harus berhenti disitu. Sejak awal Hegel percaya bahwa ruh akan selalu berkembang, hal ini mengisyaratkan akan perkembangan proses sejarah, termasuk Golkar didalamnya yang terangkum dalam hukum dialektika. Ruh harus terus berkembang guna mencapai yang mutlak.
Disini proses sintesa diperlukan, guna mengembangkan ruh pada dataran yang lebih tinggi. Golkar ideal akan tercapai menurut Hegel jika penyatuan beberapa elemen dari Golkar Ical dan Agung mampu tercapai. Dan ketika hal tersebut tercapai maka Golkar Ideal ini akan memasuki tahap Ruh Absolut (mutlak). Indikasi akan penyatuan tersebut sebenarnya sudah mulai terlihat ketika Ical memutuskan untuk mendukung koalisi pemerintah dalam kasus Pilkada langsung. Jika hal ini memang benar terjadi maka sebenarnya yang terjadi adalah bukanlah perpecahan yang menimpa Golkar, akan tetapi terjadi sebuah proses peningkata diri dari Golkar itu sendiri.
Golkar Ideal
Masyarakat politik nusantara tentu menantikan Golkar seperti apa yang muncul kelak ke permukaan, Proses dualisme yang terjadi saat ini haruslah dipandang sebagai proses dialektika, agar peningkatan diri Golkar mampu terwujud dan menjadi ideal, akan tetapi perlu diingat bahwa Hegel juga mengisyaratkan jalan lain guna menjadi ideal tanpa harus melalui proses sintesa, andaikata proses sintesa ini tidak dapat terjadi, maka seperti Hegel akan berkata ”Hanya yang rasional yang akan kekal” yang berarti Golkar versi manapun tidaklah masalah  selama dia tetap mampu bertahan dalam kerasnya gerak sejarah dunia maka Golkar versi tersebutlah yang Ideal.
Seperti yang sudah di jelaskan bahwa bahwa hakikat ruh adalah ide rasional, dan ruh merupakan sesuatu yang mutlak atau kekal, maka dapat disimpulkan Golkar yang keluar sebagai pemenang dalam ujian sejarah ini, ialah Golkar yang tetap eksisi dalam dunia perpolitikan nusantara, maka tidak dapat diragukan lagi, Golkar manapun itu, tapi itu pasti sebuah Golkar yang merupakan manifestasi dari Ruh yang bersifat rasional.

Harapan akan eksistensi
            Terlepas dari kepentingan apapun, Golkar merupakan suatu partai besar yang sangat berpengaruh dalam kancah perpolitikan Indonesia, tentu saja pertaruhannya adalah nama besar  partai tersebut. Tradisi akan kejayaan partai pohon beringin adalah sebuah pertaruhan dalam polemik dualisme partai tersebut. Kegigihan Golkar dalam mengatasi dualisme ini akan menjadi contoh bagi partai-partai lainnya ketika menghadapi masalah yang sama.
            Maka sebagai masyarakat politik, marilah kita sanksikan bersama-sama sembari menaruh harapan, bahwa partai tua ini mampu menjalani konflik dualismenya demi menuju proses keidealan. Eksistensi Golkar tetaplah menjadi harapan bagi panggung perpolitikan kita, dikarenakan pengaruh politisnya yang sering menjadi magnet bagi partai-partai lainnya. Dan akhirnya, semoga dengan adanya konflik dualisme ini, tidaklah membuat redupnya cahaya eksistensi Golkar, akan tetapi justru sebaliknya malah mampu memperbesar cahaya kebesaran dan keagunggan tradisi partai tua ini. Semoga...