Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Minggu, 28 September 2014

Dahulu ketika manusia ingin berinteraksi sosial dengan manusia lain, percakapan langsung face to face menjadi pilihan utama, Wajah diakui ataupun tidak menjadi modal penting dalam pola hubungan interaksi manusia, setidaknya dalam berinteraksi baik dengan teman ataupun orang baru, kita menangkap adanya semacam aturan tidak tertulis untuk menjaga tampilan kita yang secara sentral terletak di wajah. Berawal dari kebutuhan untuk menjaga penampilan wajah maka lahirlah industri kosmetik, yang kemudian mencapai titik puncaknya bersama dengan industri perfilman.
Pada saat ini arena pertemuan manusia guna saling berinteraksi tidak hanya terjadi di dunia nyata, dunia maya menjadi salah satu tempat favorit bagi manusia untuk berinteraksi, penampilan dan wajah tetap memegang peran dominan  dalam menentukan pola interaksi manusia. Demikian pentingnya peranan wajah sampai kemudian dipopulerkan tehnik pengabadian momen (Kamera) yang mampu menghasilkan produk lain yang bernama Foto, saat ini foto merupakan sarana pengganti wajah dalam dunia maya, Foto sengaja diciptakan guna mengantisipasi ketidakhadirnya wajah, lalu kemudian mulailah berkembang pandangan dalam berfikir kita bahwa Foto adalah wajah.

Foto sebagai Citra
Dalam dunia maya pandangan ini memang sah dan dapat dibenarkan, akan tetapi Foto bukanlah wajah kita di dunia nyata, kembali ke Foto, paradigma Foto sebagai wajah di dunia maya kemudian memicu timbulnya produk aplikasi-aplikasi perawatan Foto yang nampaknya perannya hampir sama dengan kosmetik di dunia nyata, jika kita mengenal lipstik dalam dunia nyata maka kita akan mengenal Instagram di dunia maya. Aplikasi-apikasi tersebut sengaja diciptakan guna menunjang interaksi sosial kita dalam dunia maya.
Akan tetapi The Real (meminjam konsep Baudrillard) tidak berada dalam tataran konstelasi dunia maya (simulasi), The Real sendiri terlepas dari dunia maya (simulasi). Baudrillard menegaskan bahwa, logika yang berlaku dalam simulasi sama sekali tidak berhubungan dengan logika realitas yang sesungguhnya sehingga dalam ruang simulasi semua hal menjadi nyata dengan tiba-tiba, Hukum logika tidak berpengarung dalam ruang ini. Kesadaran yang dibentuk oleh realitas semu (citra) adalah kesadaran dalam bentuk simulasi.
Dengan kata lain Logika akan senyuman di foto si A, bukanlah senyum sesungguhnya di alam realitas, senyum dalam dunia maya (simulasi) berbeda dimensi dengan dunia realitas (The real). Meskipun penggunaan Citra awalnya digunakan untuk mencerminkan realita, akan tetapi citra kemudian berubah membentuk ruang simulasi seutuhnya dikarenakan citra merupakan “penanda” (meminjam konsep Deridda) yang memiliki kecenderungan berbeda dengan “tanda”
Akhirnya jika kita masuk dalam komunitas jejaring sosial untuk mendapatkan teman-teman baru misalkan Facebook atau Twitter dsb, yang paling banyak kita temui disana merupakan merupakan kumpulan citra, foto mewakili citra sebagai penanda untuk menunjukkan Wajah yang mewakili realitas, wajah manusia di Facebook dan Twitter kemudian akan lenyap dari realitas yang kemudian tergantikan oleh citra-citra yang berbentuk foto.


Foto dan Narsisme
Mungkin tidak hanya berhenti disana, foto saat ini juga mampu masuk dalam lingkup keperibadian masyarakat kita, Kita tidaklah asing dengan fenomena Narsis dikalangan kita sendiri, Suatu fenomena kecintaan pada diri yang berlebihan layaknya Narcissus yang tenggelam di sungai dikarenakan terlampau mengagumi ketampanannya sendiri yang tercerminkan di air sungai dalam mitology yunani.
Foto merupakan sarana yang sesuai guna menyalurkan hasrat narsisme kita, tak perlu mencari sungai seperti Narcissus, foto saat ini mampu menampilkan cermin diri dengan sangat sempurna tinimbang air sungai. Kegemaran kita akan koleksi foto-foto pribadi kita, tak pelak mampu merangsang timbulnya kepribadian yang narsis, pribadi narsisme bukanlah pribadi yang sehat, dan hal ini harus ditekankan kepada masyarakat kita agar menyadari bahaya foto yang mampu membangun rasa kecintaan diri secara berlebihan.
Fenomena narsisme yang menjamur di jejaring sosial merupakan suatu pertanda bagi kita, pertanda akan matinya kepekaan sosial dan kepedulian sosial dalam masyarakat kita, bayangkan betapa sulitnya saat ini berbicara dengan si cantik yang narsis di ruang cat jejaring sosial, kita bisa memahami sendiri pernyataan tersebut, hal ini dikarenakan fenomena tersebut memang terjadi dan berubah menjadi fenomena umum. Akun si cantik dengan ribuan koleksi foto diri yang telah teracuni oleh penyakit kepribadian yang bernama narsisme, merupakan sosok lemari besi, yang butuh puluhan kunci kode angka untuk membuatnya bicara.
Foto sebagai pemicu lahirnya pribadi-pribadi narsis haruslah terus di evaluasi keberadaannya, sebelum melahirkan fenomena- fenomena yang lebih aneh lagi, kejanggalan-kejanggalan yang merugikan di masyarakat kita harus mampu kita antisipasi terlebih dahulu sebelum memasuki taraf akut. Taraf akut dapat terjadi jika kebiasaan foto narsisme sudah di integrasikan dalam kehidupan kita sehari- hari, kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi suatu kekuasaan, Dimana akhirnya dengan kekuasaan tersebut mampu menghasilkan seperangkat pandangan yang diterima oleh masyarakat yang biasa disebut doxa (meminjam istilah bourdieu).

Foto narsisme dan habitus
Bourdieu memandang kekuasaan dalam konteks teori masyarakat, dimana ia melihat kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus-menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya 'habitus' atau norma disosialisasikan atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berpikir.
Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi (kumpulan perspektif-perspektif) abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Jadi Habitus tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Foto narsisme yang telah menjadi habitus dikawatirkan dapat membentuk doxa sehingga dengan begitu mampu diterima masyarakat dan menjadi kebudayaan baru yang diterima oleh masyarakat, sehingga keberadaannya dianggap wajar dam kehidupan kita.
Bourdieu juga mengatakan bahwa Habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur masyarakat (strukturalis), tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu, disposisi yang keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak sadar oleh masyarakat sehingga dengan sendirinya masyarakat melakukan aktivitas yang dihasilkan oleh habitus mereka. Pencegahannya tentu saja dengan jalan menghambatnya mulai sekarang, tidak perlu sebelum menjadi habitus, sebelum fenomena ini menjadi doxa hal ini haruslah dicegah, narsisme akan menjadi doxa jika tidak pernah ada evaluasi kritik terhadap kebiasaan tersebut, di sini pentingnya kontrol masyarakat dalam menghambatnya, kritik dan evaluasi terhadap generasi muda kita dalam bernarsis ria harus mulai dilakukan baik di level masyarakat ataupun di level pendidikan, pendidikan memegang peran penting dalam menentukan persepsi, oleh karena itu hendaknya pendidikan mampu mengkonstruksi pribadi peserta didiknya dengan persepsi-persepsi humanis dan non narsisme.


Jumat, 19 September 2014


Polemik pembahasan RUU pilkada di DPR, membuat ramai berbagai pihak, Bebbagai akan pengguna jajaring sosial mulai unjuk suara, pro dan kontra tak dapat dihindari, tinggal bagaimana kebijaksanaan dalam berargumen yang dapat memadamkan konflik menampakkan kekuatannya. Proses perdebatan akan RUU pilkada sejatinya merupakan gambaran akan tidak jelasnya arah kompas demokrasi bangsa kita, Bangsa kita kini di hadapkan dengan 2 pilihan, Demokrasi liberal ala Lincoln ataukah demokrasi Pancasila khususnya sila ke 4. Untuk menentukan arah demokrasi suatu bangsa dipandang perlu, dikarenakan ibarat Perahu, Indonesia butuh tujuan yang jelas dalam berkenegaraannya, tak terombang-ambing dan tersesat dalam gelombang laut globalisasi.

Negara bagi Filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) terdiri dari elemen-elemen yang membentuknya, kunci dari pemikiran Hobbes tentang negara ialah: Pemerintah, kekuasaan ,hukum dan rakyat. Negara dibangun berdasarkan fondasi tersebut yang selanjutnya akan dijelaskan dalam pemikirannya
Hobbes mengibaratkan Negara sebagai Leviathan, sejenis monster (mahkluk raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis yang terdapat dalam kisah perjanjian lama). Mahkluk ini selalu mengancam keberadaan mahkluk-mahkluk lainnya, dan dipatuhi perintahnya.Maka dari penggambaran tersebut seharusnya negara muncul sebagai pihak yang tegas dalam menindak pelanggar hukum dan negara harus menjelma sebagai pihak yang ditakuti dan dihormati oleh rakyatnya. Hobbes berpendapat manusia dalam keadaan alamiah bukanlah merupakan makhluk yang gemar bersosialisasi dengan sesamanya  (social animal) seperti yang dikemukakan aristoteles. Menurut Hobbes manusia merupakan makhluk yang dipenuhi oleh hasrat, sehingga ibarat tidak ada waktu istirahat bagi manusia, hal ini dikarenakan manusia selalu diburu oleh hasratnya untuk memiliki dan menaklukkan sehingga naluri manusia mendorong seseorang untuk berkompetisi atau berperang. Keadaan itulah yang kemudian ‘memaksa’ akal manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik dimana manusia dapat mengekang hawa nafsunya.

Kehidupan alternative itu ditentukan Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk Negara. Negara sebagai gambaran ide solutif bagi hasrat manusia menurut Hobbes merupakan produk nalar manusia yang dapat membimbing orang untuk bersama dalam kekuasaan bersama. Atas dasar penalaran itulah manusia merasa membutuhkan ‘kekuasaan bersama’ yang bisa menghindari pertumpahan darah. Hobbes berpendapat bahwa terbentuknya sebuah Negara atau kedaulatan pada hakikatnya sebuah kontrak atau perjanjian sosial. dalam perjanjiannya itu manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada seorang penguasa Negara atau semacam dewan rakyat. Dalam perjanjian itu juga disepakati untuk tidak saling menyerang dan hidup mematuhi undang-undang. Hanya ada satu hak yang tidak diserahkan kepada Negara, hak mempertahankan diri. Perjanjian tersebut dilakukan antara individu dengan individu, bukan individu dengan Negara. Jadi Negara bebasa dari keterikatan janji. Negara bebas melakukan apapun yang dikehendakinya, terlepas apakah sesuai atau tidak dengan kehendak individu. Negara versi Hobbes tidak memiliki tanggung jawab apaun terhadap rakyat.

Apa yang dianggap nilai-nilai kebenaran haruslah sesuai dengan yang ditentukan Negara. Hak atas pemilikan kekayaan dapat disita Negara kapanpun bila Negara menghendakinya. Kedekatan kepada Negara akan berarti kemudahan memperoleh akses atau kekayaan. Yang menarik ialah menurut Hobbes pengangkatan jabatan-jabatan guna memperlancar kinerja pemerintahan, dan lainnya merupakan hak perogratif Negara, dengan kata lain Nepotisme dilegalkan dalam doktrin Hobbes. Dalam hal lain jika dalam hal orang ingin memperoleh kekayaan maka orang tersebut haruslah dekat dengan pemerintah.
Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak boleh terbelah. Kekuasaan terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama dalam Negara. Menurut Hobbes, Dalam hal ini Trias politis harus dikaji kembali jika dihubungkan dengan pemikiran Hobbes.  Pemisahan kekuasaan hanya akan menimbulkan konflik hal ini disebabkan keputusan yang dihasilkan tidaklah bulat dalam pandangan Hobbes. Negara despotis itu masih jauh lebih baik daripada terjadinya anarki akibat terbelahnya kekuasaan Negara.

Pada akhirnya ia memperoleh kesimpulan bahwa Negara kekuasaan yang memiliki sifat-sifat Leviathan-kuat, kejam dan ditakuti-merupakan pemecahan masalah terbaik untuk menghadapi persoalan itu. Kepatuhan total merupakan esensi utama Negara kekuasaan. Hobbes memang tidak mengemukakan secara jelas menegenai bentuk Negara terbaik, bagi hobbes bentuk Negara apapun baik, asal kekuasaan nya tidak terbagi-bagi. Dengan logika yang sama Hobbes juga tidak setuju dengan Negara demokrasi, karena demokrasi menuntut adanya pluralism politik, kekuasaannya terbelah, dan menurut Hobbes itu yang menjadi cikal bakal terjadinya konflik kekuasaan. Dan masih menurut Hobbes, monarki absolute dengan hanya memiliki seorang penguasa adalah bentuk Negara terbaik. Sebab Negara dengan seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya. Untuk menunjang kekuasaannya, seorang penguasa monarki absolut memiliki hak-hak istimewa.

Nampaknya dalam pemikiran Hobbes jika dikaji secara katul dengan kondisi kekinian maka Polemik RUU pilkada merupakan masalah yang di timbulkan dari buah sistem demokrasi negara kita, Trias Politica dalam prinsip pembagian kekuasaannya merupakan pemicu terjadinya konflik semisal RUU pilkada ini. Negara bagi Hobbes haruslah diktator guna menentukan apa yang terbaik bagi rakyatnya.


Kamis, 18 September 2014

Tuhan berada dan ada diluar dari cawan kemanusiaan, begitulah dogma Agama yang diajarkan kepada kita untuk mempercayainya, Dimana Tuhan merupakan suatu Dzat yang mengatasi seluruh ciptaannya secara mutlak dan melampaui segala bentuk entitas-entitas ciptaannya. Sejenak menenggok tentang rekam simbol ketuhanan dalam sejarah  peradaban manusia, maka beragamlah warna kelam yang dapat kita tangkap, peperangan atas nama tuhan mengantarkan banyak manusia menuju liang kubur mereka. Kejadian ini seakan mencerminkan bagaimana cara Tuhan memperlakukan manusia dan pada akhirnya menimbulkan opini dalam pemikiran manusia tentang bagaimana memperlakukan Tuhan pada era-era sesudahnya. hal ini juga berlaku di negara kita Indonesia. menarik jika kita membahas tentang Tuhan dari pandangan Kaum non-teisme.

Sebagaimana menurut Feuerbach, Tuhan adalah proyeksi dari keinginan terkuat manusia. Bagi Feuerbach, banyak dari daya tarik agama adalah tawaran janji keabadian. Secara fakta, manusia memiliki banyak ketakutan, tetapi kebanyakan dari kita semua takut akan kematian. Agama abrahamik atau masehi, umumnya menjanjikan adanya kehidupan setelah mati yang kekal, di sanalah iman agama menawarkan untuk mengambil rasa takut tersebut.Rasa takut inilah kuncinya dalam beragama. Dengan memanfaatkan rasa takut, agama mampu menarik jutaan pengikutnya,

Ketakutan manusia akan kematian dimana akan menghapus eksistensi mereka sepenuhnya dapat ditangkap dengan baik oleh agama. Alhasil dengan iming-iming janji kehidupan abadi manusia memiliki kembali harapan untuk meneruskan eksistensinya di kehidupan sesudah kematian. Jika kita bersedia untuk beriman pada salah satu agama, kita bisa melarikan diri dari rasa takut tersebut, dan hidup bahagia dalam ketidaktahuan. Ini adalah daya tarik agama, yang kekuatannya kemudian mencengkeram pikiran manusia yang mengimaninya. Sekali orang beriman, akan sangat sulit untuk bisa melepaskan diri. Hanya orang-orang dengan mental kuat saja yang mampu melepaskan diri darinya.

Bagi Feuerbach, kemanusiaan, yang diproyeksikan pada sosok Tuhan dalam agama, merupakan sesuatu yang positif karena melalui kemanusiaan, manusia bisa melihat hakikatnya yang sebenarnya. Namun, kesadaran manusia akan hal itu justru ditenggelamkan oleh kekuatan dogma-dogma agama. Akibatnya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri dan manusia menganggap proyeksi itu sebagai sesuatu yang real. Manusia menjadi terasing dengan hakikatnya sendiri bahkan takut dan menjadi lumpuh di hadapan proyeksinya sendiri. Manusia memohon berkah dari proyeksinya secara pasif tanpa ada upaya realisasi atas potensi-potensi yang ia miliki. Agama adalah batu sandungan bagi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.

Yang disebut “Tuhan”, adalah suatu mimpi dari manusia. Kata “Tuhan” harus diganti dengan kata “hakekat manusia”. Agama harus diganti dengan politik. Karena manusia sudah terlalu lama diasingkan dari dirinya sendiri, sekarang, kata Feuerbach, manusia harus dikembalikan kepada dirinya sendiri. Feuerbach tetap menghargai agama, tetapi hanya sebagai ajaran tentang manusia, disinilah sebenarnya tersirat Feuerbach mengakui akan manfaat ajaran agama, terutama ajaran agama yang bertemakan kemanusiaan diakui olehnya mampu memberikan pencerahan akan hakikat kemanusiaan. Akan tetapi Feuerbach membatasi penerimaannya akan ajaran agama hanya dalam hal tersebut, selebihnya agama merupakan penghalang bagi kesadaran manusia, ajaran tentang kemanusiaan dalam agama merupakan hal yang bertolak belakang dengan ajaran agama tentang ketuhanan. Manusia menurut Feuerbach harus lebih memfokuskan perhatiannya kepada alam guna mencapai kemanusiaan yang sejati, karena di hadapan alam manusia dengan serta Erta mampu merasakan kekerdilannya, sehingga daripada memikirkan teologi memikirkan alam dianggap lebih penting.

Kesadaran manusia adalah satu-satunya kunci untuk mencapai kemanusiaan dan satu-satunya jalan untuk mencapai kesadaran ialah meniadakan agama dan membuangnya jauh-jauh. Dengan kesadarannya, manusia membuka matanya akan apa yang selama ini ia sembah. Dengan kesadaran itu juga, ia memulai hidup dengan tujuan yang satu, yakni menjadi dirinya sendiri tanpa campur tangan Tuhan dan agama. Dengan kesadarannya, manusia tidak lagi berteologi. Teologi harus menjadi antropologi, sebagai buah kesadaran manusia akan dirinya dan realitas agama. Segala predikat yang dikenakan oleh teologi kepada Tuhan (Mahaagung, Mahakuasa, dan sebagainya) dapat dipertahankan, asal subjeknya diganti dengan manusia. Harapan Feuerbach ialah dengan menyadari itu semua, manusia secara umum dapat merealisasikan dirinya secara optimal dan secara khusus dapat mewujudkan dirinya sebagai mahkluk sosial, yang tidak seperti seorang beragama yang sering intoleran dan fanatik