Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Selasa, 17 Oktober 2017




             “Prinsip yang ingin dibangun Presiden dari pertama kali menjabat adalah “Kerja, Kerja, Kerja”

Hampir tak terasa 5 tahun periode kepemimpinan presiden kita akan segera berakhir, sungguh sebuah periode yang ramai telah disuguhkan kepada kita, bumbu-bumbu media massa mewarnai periode tersebut dengan ciri khas mereka masing-masing, akan tetapi tentu bukan tema hiruk pikuk periode tersebut yang akan penting untuk di bahas, Akan tetapi sebuah evaluasi kritis terhada kepemimpinan yang selama ini dirasakan agaknya penting untuk didalami.
Tidaklah terlalu sulit kiranya guna menggambarkan garis besar dari kepemimpinan “sang presiden”, masa kepemimpinan yang akan berakhir ini bisa kita gambarkan dengan kata kunci, slogan beliau yakni, “KERJA, KERJA, KERJA”. Sedikit analisa semiotik bahasa, jelas dapat kita tangkap makna akan kata “kerja” yang memiliki arti sebuah tindakan (action) dan terdapat pengulangan sebanyak tiga kali, yang menjelaskan kesungguhan/penekanan, jadi agaknya dapat diambil sebuah kesimpulan akan slogan tersebut yang bermakna suatu aksi adalah yang paling utama.

“sebuah kesimpulan akan slogan tersebut yang bermakna suatu aksi adalah yang paling utama” 

“Aksi” atau “Tindakan nyata” agaknya mampu menghantarkan presiden ke istana negara pada 2014 lalu, kata tersebut memang sangat digemari oleh masyarakat, dimana hal ini jika ditarik dalam ranah pembahasan yang mendalam akan tertumpu pada paradigma filosofis populer abad ini. Suatu ‘aksi atau tindakan’ merupakan lawan kata dari ‘konsep atau teori’ dimana dua hal tersebut seharusnya bersifat diaklektis dan saling melengkapi, Akan tetapi kecenderungan dewasa ini adalah memilah antara dua kata tersebut, dan lebih parahnya bahkan memilih salah satu dari dua kata tersebut.
Pemilihan seperti itu akan mengakibatkan sebuah konsekuensi npenghilangan kata yang lain, ketika anda memilih tindakan anda haruslah meniadakan konsep dan begitu sebaliknya, hal ini menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan dalam beraktivitas, agak anaeh kiranya jika ber”aksi” tanpa “konsep” dan berkonsep tanpa aksi. Tetapi inilah suatu paradigma sosial kita, dimana ketika suatu aksi dianggap lebih penting, maka yang terjadi adalah hilangnya konsep dan teori yang berakibat kesemrawutan bekerja, dikarenakan tidak adanya sinkronasi antara aksi dan teori yang jelas.

“Bertindakan lebih baik dari pada berteori”

Kalimat diatas jelas merupakan kalimat yang indah, kalimat yang dimaknai secara mendalam dalam hati sanubari masyarakat, entah darimana kalimat ini datang, akan tetapi jelas kalimat ini merupakan jimat dan mantra bagi masyarakat kita, dan sering kita tampilkan dalam jendela media sosial kita, entah sebagai kalimat mutiara atau sebagai kalimat penyemangat. Akan tetapi jelas, seperti yang sudah tertera sebelumnya, kalimat ini memiliki konsekuensi yang tidaklah kecil. Alih alih menutupi dampak negatifnya kalimat ini mampu menyedot animo masyarakat luas, sehingga sering digunakan sebagai sebuah jargon politik, dan tentu digunakan dengan sangat baik oleh Presiden kita, guna memenangkan pemilu 2014.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, kalimat tersebut berasal dari suatu pandangan akan lebih pentingnya aksi dibandingka teori/konsep/gagasan, yang bilamana dijelaskan lebih jauh dalam sitematika ilmu pengetahuan, kata aksi mewakili jenis dari pengetahuan teknis. Aksi atau tindakan bersifat pragmatis, yakni suatu hal yang mudah diterapkan ataupun dipraktikkan,  sifat pragmatis ini melekat dalam ilmu pengetahuan teknis (fisika,kimia,TI, biologi geografi,otomotif,mesin dll) yang mengandalkan eksperimentasi yang berbentuk pembuktian, dalam wilayah-wilayah keilmuan tersebut praktik dan eksperimen menempati posisi yang peting guna mengabsahkan suatu gagasan.