Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Senin, 14 Oktober 2013

Filsuf sejati tak akan pernah menikah





(a)    Kapan  Menikah?  
atau 
(b)    Kenapa Penikahan?

Ada berbagai jenis manusia dalam kehidupan ini, dan konon setiap manusia mewakili sebuah entitas keunikan tersendiri, jenis keunikan ini menimbulkan lahirnya cara pandang yang beragam dalam menyikapi hidup, Seperti yang ada baca, diatas tulisan ini terdapat dua pertanyaan, keduanya merupakan pertanyaan yang bertema “pernikahan”., persamaannya terletak pada tema dari pertanyaan tersebut, akan tetapi perbedaannya terletak dari sudut pandang dan maksud dari pertanyaan tersebut.
Jenis manakah pertanyaan anda?,Bentuk pertanyaan menggambarkan cara berfikir dari yang bertanya, jika anda merupakan  kategori (a) maka anda adalah sedangt mendambakan suatu aktivitas, tentunya aktivitas yang dilakukan secara tradisi oleh manusia pada umumnya. Akan tetapi jika anda berada dalam pertranyaan (b) maka anda adalah sesorang peragu dan pencari kebenaran, dikarenakan anda tidaklah mudah percaya begitu saja terhadap apa yang nmenjadi ‘kewajaran’ dari khalayak umum.


“maka anda adalah sesorang peragu dan pencari kebenaran, dikarenakan anda tidaklah mudah percaya begitu saja terhadap apa yang nmenjadi ‘kewajaran’ dari khalayak umum”

Lalu apakah maksud dari dua pertanyaan tersebut?, maksud dari pertanyaan tersebut adalah sebagai pengantar untuk sebuah pembahasan akan pernikahan, diman kita menyadari pernikahan merupakan suatu ritual wajib dalam pandangan masyarakat kita, akan tetapi didalam filsafat terdapat gagasan yang berbeda mengenaio pernikahan, gagasan ini lahir dari kepala Arthur Schopenhouer (1788-1860). Seorang filsuf Jerman yang identik dengan filsafat gelap, dijulukinya seperti itu, dikarenakan konsep konsep filsafatnya yang cenderung skeptis dan pesimistik.
Schopenhouer percaya bahwasanya manusia beraktivitas di kehidupan berdasarkan ‘kehendak’, Kehendak merupakan sifat bawaan manusia yang memberikan dorongan bagi manusia dalam menjali kehidupannya, Segala perbuatan manusia menurut Schopenhouer pasti dilatar belakangi suatu kehendak, tak terkecuali tentang pernikahan.   

Filsafat Schopenhouer sendiri berbeda dengan filsuf-filsuf sebelumnya, corak perbedaan ini terletak dalam cara filsafatnya yang menekankan bahwa kesadaran intelektual atau rasio dipandang tidak sebagai hakikat dari jiwa, bagi Schopenhouer intelektual dipandang dari bagian atas ‘kesadaran jiwa’, ‘kesadaran’ berfungsi sebagai alat bagi ‘hakikat’, ‘kesadaran’ diperbudak oleh ‘hakikat’ guna mencapai tujuan-tujuan dari ‘hakikat’.


“Arthur Schopenhouer (1788-1860). Seorang filsuf Jerman yang identik dengan filsafat gelap, dijulukinya seperti itu, dikarenakan konsep konsep filsafatnya yang cenderung skeptis dan pesimistik”

Lantas apakah yang disebut hakikat jiwa jika bukan Rasio?, maka jawaban dari Schopenhouer pastilah ‘kehendak’. Menurut Schopenhouer dibawah intelektual terletak kehendak yang tidak sadar yang memiliki suatu daya atau kekuatan hidup yang abadi. Bagi Schopenhouer daya rasional adalah pembantu dari kehendak, dalam kata lain rasionalitas dan intelektualitas diciptakan oleh kehendak untuk membenarkan kehendaknya,kita bisa ambil contoh tentang lelaki yang mengiginkan kopi, si lelaki ketika mengiginkan kopi membuat berbagai alasan rasional untuk dapat membenarkan keinginannya seperti “jika aku meminum kopi maka aku tidak mengantuk ketika bekerja atau jika aku meminum kopi akan bisa menjernihkan fikiran ku sehingga membuang kebosananku, dan dengan demikian aku perlu meminim kopi. Jadi menurut Schopenhouer inti dan subtansi dari manusia dan kehidupan terletak dalam kehendak.  Berangkat dari sini lah lalu kemudian Schopenhouer merumuskan teorinya tentang Dunia Sebagai Kehendak”.
                                  



          Dunia sebagai kehendak dibagi menjadi dua oleh Schopenhouer yang pertama ”kehendak untuk hidup”  dan yang kedua “kehendak untuk bereproduksi”. Akan tetapi dalam pembahasan pernikahan perlu  memfokuskan pembahasan dalam hal kehendak untuk bereproduksi guna untuk menghindari sebuah ulasan yang terlalu panjang. Kehidupan itu sendiri nmemiliki sebuah lawan abadi yaitu kematian, ketika seseorang hidup maka kematian adalah hal yang selalu dihindarinya, dari sini muncullah pertanyaan apakah kematian bisa ditaklukan?, maka Schopenhouer pun akan menjawab “bisa” yakni dengan strategi reproduksi. Setiap organisme ketika tiba masa dewasanya akan selalu menjalankan peran ini, mulai dari tumbuhan,hewan dan manusia akan selalu dan senantiasa mentaati strategi ini guna menaklukan kematian.






Jika kita lihat akan halnya manusia yang bekerja siang dan malam membanting tulang untuk memberi makan anaknya maka yang menjadi dasar tindakan mereka adalah reproduksi, reproduksi menurut Schopenhouer dipandang sebagai kehendak yang kuat hal ini dikarenakan, kehendak ini bersifat alamiah dan organ-organ reproduksi pada manusia dipandang sebagai pusat yang memicu timbulnya kehendak ini, tentu saja kehendak ini berlawanan dengan otak, sehingga menurut Schopenhouer kehendak ini tidak memerlukan pengetahuan.
Kehendak itu sendiri, entah apapun bentuknya pada dasarnya adalah buta, kehendak itulah yang menciptakan intelektualitas, alasan-alasan intelektual hanyalah alat yang dipakai kehendak untuk membenarkan dan memuaskan keinginannya. Hal ini jika kita masukkan dalam pernikahan, maka cinta adalah sebuah alasan untuk pernikahan sedangkan pernikahan itu sendiri adalah kehendak reproduksi, dan bagi Schopenhouer cinta merupakan alat dari kehendak reproduksi untuk merasionalkan kehendaknya yakni pernikahan sehingga dapat ditarik persamaan bahwasanya pernikahan sebenarnya merupakan topeng dari kehendak reproduksi. “Alam sejatinya tak pernah mengenal cinta alam hanya mengenal Reproduksi”, maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Kehendak Reproduksi adalah naluri alamiah yang paling dasar dalam kejiwaan manusia.


 “Alam sejatinya tak pernah mengenal cinta alam hanya mengenal Reproduksi”

Asal dari Cinta

Berbicara tentang cinta, Schopenhouer pasti akan berbicara tentang kehendak untuk menaklukan, Tunduknya (subordinasi) suami terhadap Istri atau tunduknya istri terhadap suami yang mengatasnamakan cinta nampaknya bisa dicurigai jika hal tersebut bukan cinta, akan tetapi Schoupenhour menyebutnya “Hukum daya tarik seksual”. Hukum daya tarik seksual menyatakan bahwa pemilihan pasangan hidup sebagaian besar ditentukan oleh kecocokan per pasangan untuk beranak-pinak, setiap orang akan mencari pasangan yang kiranya dapat menetralisir kekurangannya, akibatnya yang terjadi adalah seorang pria yang secara fisik lemah akan mencari perempuan yang kuat, dan seterusnya.
Setiap orang secara khusus mengagumi keindahan atau kelebihan orang lain yakni sesuatu yang dia sendiri tidak memiliki. Dan tentu saja manusia juga akan mengalami kehilangan daya terik seksual atas lawan jenisnya ketika sang lawan jenis sudah melewati masa beranak-pinak (Menopause) misalnya wanita muda yang kurang cantik akan lebih memiliki daya tarik seksual ketimbang wanita tua yang cantik. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpilan bahwasanya cinta itu sendiri tidaklah ada, ia hanyalah sesuiatu yang diciptakan logika kita, dan cinta itu sendiri sebenarnya adalah hukum daya tarik seksual, yang bersifat alamiah.




Cinta nyatanya adalah ketertarikan seksual, ketertarikan seksual berfungsi untuk reproduksi, aikan tetapi dunia menyalah artikan cinta sebagai yang lain. Cinta sering disalah artikan sebagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan, atau cara untuk mendahulukan kepentingan yang kita cintai, akibat dari pengartian yang keliru ini, maka akan timbul kenyataan yang tidaklah sesuai harapan, dimana cinta yang diharapkan sebagai kebahagian dll ternyata tidaklah mampu mendatangkan hal tersebut.
 Seorang ketika sedang jatuh cinta berarti bukan tentang masalah hubungan cinta yang bersifat mendatangkan kebahagiaan, atau cinta yang bersifat timbal balik yang meniadakan unsur egoisme, akan tetapi jatuh cinta adalah tentang masalah keinginan untuk memiliki / menaklukkan apa yang tidak mereka miliki atau tidak dipunyai (hasrat untuk menundukkan). Bagi Schoupenhour cinta tak mampu mendatangkan kebahagiaan dan menghilangkat keegoisan, cinta adalh tentang menundukkan atau memiliki yang berujung pada pemuasan hasrat reproduksi. Cinta yang diartika kebahagiaan,kasih sayang dll hanya akan menimbulkan penderitaan, dikarenakan tidaklah mungkin hal tersebut akan terjadi. Schoupenhouer berkata “Sesungguhnya tidak ada pernikahan yang mendatangkan derita,kecuali pernikahan karena cinta”.


“Sesungguhnya tidak ada pernikahan yang mendatangkan derita,kecuali pernikahan karena cinta”

Alasan diatas cukuplah logis, kenapa pernikahan atas cinta mendatangkan penderitaan, hal ini dikarenakan tujuan utama pernikahan adalah memperpanjang spesies bukan untuk kesenangan atau kebahagiaan dari pasangan. Sebagian masalah sebenarnya bisa dihindari jika manusia dalam pernikahan hanya memikirkan tentang mempertahankan spesies atau ras, akan tetapi hal sebaliknya akan terjadi jika manusia mulai memikirkan tentang pasangan hidupnya, kebahagiaan dll.

Sekali lagi menurut Schopenhouer “Alam tidak peduli akan cinta,alam tidak peduli apakah manusia itu berbahagia atau tidak, alam hanya peduli tentang reproduksi”. Naluri alamiah manusia menggunakan Istilah, simbol, lambang Cinta sebagai tempat persembunyian dari Kehendak Reproduksi, Cinta menurut Schopenhouer sebenarnya merupakan penipuan diri yang dipraktekkan oleh naluri bawah sadar manusia yaitu kehendak untuk bereproduksi. Akhir dari hal tersebut adalah pernikahan karena cinta pasti akan mengecewakan karena ada unsur penipuan dalam hal pernikahannya, hal ini tentu saja berbeda jika manusia secara jujur mengungkapkan motifnya ketika akan menikah yaitu untuk kehendak reproduksi bukan karena cinta, kekecewaan akan timbul ketika si pasangan telah melewati fase beranak-pinak, maka akan nampak wajah sesungguhnya dari sang suami.

Jadi Schopenhouer bermaksud untuk mengajak kita untuk kembali melihat pernikahan sebagai bentuk dari keinginan alamiah yang otentik tanpa ada unsur manipulasi dan penipuan karena hanya dengan kembali pada sifat yang alamiah pernikahan tidak akan mendatangkan penderitaan tanpa ada campur tangan dari unsur-unsur non alami yang disebut dengan cinta.bagi Schopenhouer "filsuf sejati tak akan pernah menikah" dan nampaknya Schopenhouer pun konsisten dengan penyataannya sendiri, Sepanjang hidupnya Filsuf ini tidak pernah menikah dan ia hanya hidup bersama seekor anjing yang diberi nama Atman yang dalam istilah Hindu berarti "Jiwa Kecil". 

"Filsuf sejati tak akan pernah menikah"

2 komentar:

  1. "ketika sipasangan telah memasuki fase beranak pinak, maka akan nampak wajah sesungguhnya dari sang suami"
    Dari titik itulah "Drama Pernikahan" atas dasar Cinta(katanya), dimulai.

    BalasHapus