(a) Kapan
Menikah?
atau
(b) Kenapa Penikahan?
Ada berbagai jenis manusia dalam kehidupan
ini, dan konon setiap manusia mewakili sebuah entitas keunikan tersendiri,
jenis keunikan ini menimbulkan lahirnya cara pandang yang beragam dalam
menyikapi hidup, Seperti yang ada baca, diatas tulisan ini terdapat dua
pertanyaan, keduanya merupakan pertanyaan yang bertema “pernikahan”.,
persamaannya terletak pada tema dari pertanyaan tersebut, akan tetapi
perbedaannya terletak dari sudut pandang dan maksud dari pertanyaan tersebut.
Jenis manakah pertanyaan anda?,Bentuk
pertanyaan menggambarkan cara berfikir dari yang bertanya, jika anda merupakan kategori (a) maka anda adalah sedangt
mendambakan suatu aktivitas, tentunya aktivitas yang dilakukan secara tradisi
oleh manusia pada umumnya. Akan tetapi jika anda berada dalam pertranyaan (b)
maka anda adalah sesorang peragu dan pencari kebenaran, dikarenakan anda
tidaklah mudah percaya begitu saja terhadap apa yang nmenjadi ‘kewajaran’ dari
khalayak umum.
“maka anda adalah sesorang peragu dan pencari kebenaran, dikarenakan anda tidaklah mudah percaya begitu saja terhadap apa yang nmenjadi ‘kewajaran’ dari khalayak umum”
Lalu apakah maksud dari dua pertanyaan tersebut?, maksud dari pertanyaan tersebut adalah sebagai pengantar untuk sebuah pembahasan akan pernikahan, diman kita menyadari pernikahan merupakan suatu ritual wajib dalam pandangan masyarakat kita, akan tetapi didalam filsafat terdapat gagasan yang berbeda mengenaio pernikahan, gagasan ini lahir dari kepala Arthur Schopenhouer (1788-1860). Seorang filsuf Jerman yang identik dengan filsafat gelap, dijulukinya seperti itu, dikarenakan konsep konsep filsafatnya yang cenderung skeptis dan pesimistik.
Schopenhouer percaya bahwasanya manusia beraktivitas
di kehidupan berdasarkan ‘kehendak’, Kehendak merupakan sifat bawaan manusia yang
memberikan dorongan bagi manusia dalam menjali kehidupannya, Segala perbuatan
manusia menurut Schopenhouer pasti dilatar belakangi suatu kehendak, tak
terkecuali tentang pernikahan.
Filsafat Schopenhouer sendiri berbeda dengan
filsuf-filsuf sebelumnya, corak perbedaan ini terletak dalam cara filsafatnya
yang menekankan bahwa kesadaran intelektual atau rasio dipandang tidak sebagai
hakikat dari jiwa, bagi Schopenhouer intelektual dipandang dari bagian atas ‘kesadaran
jiwa’, ‘kesadaran’ berfungsi sebagai alat bagi ‘hakikat’, ‘kesadaran’
diperbudak oleh ‘hakikat’ guna mencapai tujuan-tujuan dari ‘hakikat’.
“Arthur Schopenhouer (1788-1860). Seorang filsuf Jerman yang identik dengan filsafat gelap, dijulukinya seperti itu, dikarenakan konsep konsep filsafatnya yang cenderung skeptis dan pesimistik”
Lantas apakah yang disebut hakikat jiwa
jika bukan Rasio?, maka jawaban dari
Schopenhouer pastilah ‘kehendak’. Menurut
Schopenhouer dibawah intelektual
terletak kehendak yang tidak sadar yang memiliki suatu daya atau kekuatan hidup
yang abadi. Bagi Schopenhouer daya rasional adalah pembantu dari kehendak,
dalam kata lain rasionalitas dan intelektualitas diciptakan oleh kehendak untuk
membenarkan kehendaknya,kita bisa ambil contoh tentang lelaki yang mengiginkan
kopi, si lelaki ketika mengiginkan kopi membuat berbagai alasan rasional untuk
dapat membenarkan keinginannya seperti “jika aku meminum kopi maka aku tidak
mengantuk ketika bekerja atau jika aku meminum kopi akan bisa menjernihkan
fikiran ku sehingga membuang kebosananku, dan dengan demikian aku perlu meminim
kopi. Jadi menurut Schopenhouer inti dan subtansi dari manusia dan kehidupan
terletak dalam kehendak. Berangkat dari sini lah lalu kemudian
Schopenhouer merumuskan teorinya tentang “Dunia Sebagai Kehendak”.
Dunia
sebagai kehendak dibagi menjadi dua oleh Schopenhouer yang pertama ”kehendak
untuk hidup” dan yang kedua “kehendak untuk bereproduksi”. Akan
tetapi dalam pembahasan pernikahan perlu memfokuskan pembahasan dalam hal kehendak
untuk bereproduksi guna untuk menghindari sebuah ulasan yang terlalu panjang. Kehidupan
itu sendiri nmemiliki sebuah lawan abadi yaitu kematian, ketika seseorang hidup
maka kematian adalah hal yang selalu dihindarinya, dari sini muncullah
pertanyaan apakah kematian bisa ditaklukan?, maka Schopenhouer pun akan
menjawab “bisa” yakni dengan strategi reproduksi. Setiap organisme ketika tiba
masa dewasanya akan selalu menjalankan peran ini, mulai dari tumbuhan,hewan dan
manusia akan selalu dan senantiasa mentaati strategi ini guna menaklukan
kematian.
Jika kita lihat akan halnya manusia yang
bekerja siang dan malam membanting tulang untuk memberi makan anaknya maka yang
menjadi dasar tindakan mereka adalah reproduksi, reproduksi menurut
Schopenhouer dipandang sebagai kehendak yang kuat hal ini dikarenakan, kehendak
ini bersifat alamiah dan organ-organ reproduksi pada manusia dipandang sebagai
pusat yang memicu timbulnya kehendak ini, tentu saja kehendak ini berlawanan
dengan otak, sehingga menurut Schopenhouer kehendak ini tidak memerlukan
pengetahuan.
Kehendak itu sendiri, entah apapun bentuknya
pada dasarnya adalah buta, kehendak itulah yang menciptakan intelektualitas,
alasan-alasan intelektual hanyalah alat yang dipakai kehendak untuk membenarkan
dan memuaskan keinginannya. Hal ini jika kita masukkan dalam pernikahan, maka cinta
adalah sebuah alasan untuk pernikahan sedangkan pernikahan itu sendiri adalah
kehendak reproduksi, dan bagi Schopenhouer cinta merupakan alat dari kehendak
reproduksi untuk merasionalkan kehendaknya yakni pernikahan sehingga dapat
ditarik persamaan bahwasanya pernikahan sebenarnya merupakan topeng dari
kehendak reproduksi. “Alam
sejatinya tak pernah mengenal cinta alam hanya mengenal Reproduksi”,
maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Kehendak Reproduksi adalah naluri
alamiah yang paling dasar dalam kejiwaan manusia.
“Alam sejatinya tak pernah mengenal cinta alam hanya mengenal Reproduksi”
Asal dari Cinta
Berbicara tentang cinta, Schopenhouer
pasti akan berbicara tentang kehendak untuk menaklukan, Tunduknya (subordinasi)
suami terhadap Istri atau tunduknya istri terhadap suami yang mengatasnamakan
cinta nampaknya bisa dicurigai jika hal tersebut bukan cinta, akan tetapi
Schoupenhour menyebutnya “Hukum daya tarik seksual”. Hukum daya tarik
seksual menyatakan bahwa pemilihan pasangan hidup sebagaian besar
ditentukan oleh kecocokan per pasangan untuk beranak-pinak, setiap orang akan
mencari pasangan yang kiranya dapat menetralisir kekurangannya, akibatnya yang
terjadi adalah seorang pria yang secara fisik lemah akan mencari perempuan yang
kuat, dan seterusnya.
Setiap orang secara khusus mengagumi
keindahan atau kelebihan orang lain yakni sesuatu yang dia sendiri tidak
memiliki. Dan tentu saja manusia juga akan mengalami kehilangan daya terik
seksual atas lawan jenisnya ketika sang lawan jenis sudah melewati masa
beranak-pinak (Menopause) misalnya wanita muda yang kurang cantik akan lebih
memiliki daya tarik seksual ketimbang wanita tua yang cantik. Sehingga dapat
ditarik suatu kesimpilan bahwasanya cinta itu sendiri tidaklah ada, ia hanyalah
sesuiatu yang diciptakan logika kita, dan cinta itu sendiri sebenarnya adalah
hukum daya tarik seksual, yang bersifat alamiah.
Cinta nyatanya adalah ketertarikan seksual, ketertarikan
seksual berfungsi untuk reproduksi, aikan tetapi dunia menyalah artikan cinta
sebagai yang lain. Cinta sering disalah artikan sebagai cara untuk mendapatkan
kebahagiaan, atau cara untuk mendahulukan kepentingan yang kita cintai, akibat
dari pengartian yang keliru ini, maka akan timbul kenyataan yang tidaklah
sesuai harapan, dimana cinta yang diharapkan sebagai kebahagian dll ternyata
tidaklah mampu mendatangkan hal tersebut.
Seorang
ketika sedang jatuh cinta berarti bukan tentang masalah hubungan cinta yang
bersifat mendatangkan kebahagiaan, atau cinta yang bersifat timbal balik yang
meniadakan unsur egoisme, akan tetapi jatuh cinta adalah tentang masalah
keinginan untuk memiliki / menaklukkan apa yang tidak mereka miliki atau tidak
dipunyai (hasrat untuk menundukkan). Bagi Schoupenhour cinta tak mampu
mendatangkan kebahagiaan dan menghilangkat keegoisan, cinta adalh tentang
menundukkan atau memiliki yang berujung pada pemuasan hasrat reproduksi. Cinta yang
diartika kebahagiaan,kasih sayang dll hanya akan menimbulkan penderitaan,
dikarenakan tidaklah mungkin hal tersebut akan terjadi. Schoupenhouer berkata “Sesungguhnya tidak ada pernikahan yang
mendatangkan derita,kecuali pernikahan karena cinta”.
“Sesungguhnya tidak ada pernikahan yang mendatangkan derita,kecuali pernikahan karena cinta”
Alasan diatas cukuplah logis, kenapa
pernikahan atas cinta mendatangkan penderitaan, hal ini dikarenakan tujuan
utama pernikahan adalah memperpanjang spesies bukan untuk kesenangan atau
kebahagiaan dari pasangan. Sebagian masalah sebenarnya bisa dihindari jika
manusia dalam pernikahan hanya memikirkan tentang mempertahankan spesies atau
ras, akan tetapi hal sebaliknya akan terjadi jika manusia mulai memikirkan
tentang pasangan hidupnya, kebahagiaan dll.
Sekali lagi menurut Schopenhouer “Alam
tidak peduli akan cinta,alam tidak peduli apakah manusia itu berbahagia atau
tidak, alam hanya peduli tentang reproduksi”. Naluri alamiah manusia
menggunakan Istilah, simbol, lambang Cinta sebagai tempat persembunyian dari
Kehendak Reproduksi, Cinta menurut Schopenhouer sebenarnya merupakan penipuan
diri yang dipraktekkan oleh naluri bawah sadar manusia yaitu kehendak untuk
bereproduksi. Akhir dari hal tersebut adalah pernikahan karena cinta pasti akan
mengecewakan karena ada unsur penipuan dalam hal pernikahannya, hal ini tentu
saja berbeda jika manusia secara jujur mengungkapkan motifnya ketika akan
menikah yaitu untuk kehendak reproduksi bukan karena cinta, kekecewaan akan
timbul ketika si pasangan telah melewati fase beranak-pinak, maka akan nampak
wajah sesungguhnya dari sang suami.
Jadi Schopenhouer bermaksud untuk mengajak
kita untuk kembali melihat pernikahan sebagai bentuk dari keinginan alamiah
yang otentik tanpa ada unsur manipulasi dan penipuan karena hanya dengan
kembali pada sifat yang alamiah pernikahan tidak akan mendatangkan penderitaan
tanpa ada campur tangan dari unsur-unsur non alami yang disebut dengan
cinta.bagi Schopenhouer "filsuf sejati tak akan pernah menikah" dan
nampaknya Schopenhouer pun konsisten dengan penyataannya sendiri, Sepanjang
hidupnya Filsuf ini tidak pernah menikah dan ia hanya hidup bersama seekor
anjing yang diberi nama Atman yang dalam istilah Hindu berarti "Jiwa
Kecil".
"Filsuf sejati tak akan pernah menikah"
"ketika sipasangan telah memasuki fase beranak pinak, maka akan nampak wajah sesungguhnya dari sang suami"
BalasHapusDari titik itulah "Drama Pernikahan" atas dasar Cinta(katanya), dimulai.
Cakep
BalasHapus