Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Rabu, 21 Januari 2015


Kantor redaksi Charlie Hedo di Paris, beberapa waktu lalu dan menewaskan sedikitnya 11 orang serta melukai 10 orang lainnya, BBC Inggris melaporkan. Itu adalah serangan kedua setelah November 2011, kantor majalah yang sama dilempar molotov menyusul sikap redaksi yang menempatkan Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin redaksi. Banyak pihak yang menyayangkan adanya serangan tersebut, akan tetapi beberapa yang berbeda pendapat menguatkan serangan tersebut dengan dalih yang tentu bukan sembarang dalih. 

Sebuah Ingatan
Suatu peristiwa tentu akan menimbulkan suatu ingatan. Ingatan yang mungkin timbul di kepala kita ketika mendengar peristiwa Charlie Hebdo barangkali ialah tentang kebebasan yang bergerak melawan rezim ortodok. dimana dalam kasus ini kita seringkali mengambil ingatan akan zaman renaissance yang waktu itu ilmu pengetahuan sebagai wakil dari paham kebebasan mengalami ketertidasan dibawah rezim ortodok yakni agama. Hampir dari kita semua telah mengenang kisah akan Boruch Spinoza yang di cap sesat oleh yahudi, atau Galileo yang dihukum mati oleh Kristiani. Dengan mengambil Ingatan ala zaman Renaissance, akan terbentuk suatu persepsi dalam pikiran kita yang kemudian dari persepsi tersebut mampu memutuskan keberpihakan kita. Inilah hal yang sering menjadi salah kaprah dewasa ini.
  Sejarah memang mampu mengajarkan banyak hal kepada kita, akan tetapi ketika kita masuk dalam proses mengingat kembali, Proses mengingat kembali tersebut tidaklah sama dengan konsep ala Plato  (reminiscentia). Diana dalam konsep tersebut dijelaskan bahwa sebenarnya jiwa sebelum terpenjara di dalam tubuh, ia berada di suatu tempat di mana dia memandang ide-ide yang abadi. Artinya bahwa proses pengetahuan merupakan pengingatan kembali. Akan tetapi kita tidaklah dapat mengambil proses mengingat kembali sepenuhnya dari konsep Plato ini. Mengingat kembali dengan cara menelan bulat-bulat suatu sejarah sangat mungkin menimbulkan salah tafsir. Jadi dengan metode mengingat kembali secara bulat-bulat hanya akan menghasilkan pengetahuan yang salah atau palsu. Pengetahuan yang salah hanya akan menyebabkan terjadinya masalah baru.
 Untuk mengatasi kesalahpahaman dalam proses reminiscentia. alangkah bijaknya jika kita mengambil konsep ruang dan waktu dalam memahami sejarah Renaissance. Ruang dan waktu ialah materi pembentuk dari suatu horizon bagi pemahaman, hal ini menjadi penting mengingat pemahaman (verstehen) akan suatu peristiwa lampau sangat rawan disalah artikan

Tempat dan waktu yang berbeda
          Ketika kita memasuki cakrawala Renaissance, kita akan ditawarkan untuk melihat suatu kondisi yang berbeda, Agama pada saat itu merupakan satu-satunya metode yang digunakan untuk memperoleh kebenaran. Walaupun tidak dipungkiri metode lain yang muncul pada saat itu, akan tetapi dapatlah kita katakan metode tersebut masih bersifat marjinal, dan jarang digunakan oleh kebanyakan orang. Metode ilmu pengetahuan yang paling sering digunakan adalah metode ala gereja, Dimana pada masa sebelumnya yang menjadi puncak kejayaan gereja yakni pada era scholastik setiap metode ilmu pengetahuan yang masuk haruslah di sesuaikan dengan ajaran gereja, Dari era scholastik ini kita dapat dapat menemukan para teolog besar layaknya St. Aquinas dan St Agustinus, mereka merupakan filsuf yang mengambil pemikiran dari Plato dan Aristoteles dan memasukkannya dalam ajaran gereja.
          Dengan adanya penyesuaian tersebut praktis Gereja menjadi pusat kebenaran pada masanya, Sebagai satu- satunya kebenaran yang ada di dunia gereja segera menjelma menjadi sebuah kekuasaan yang absolut. Dengan kekuasaan (Power) inilah Gereja menjelma menjadi rezim otoriter yang semen-mena di zaman itu. Pada waktu itu jika kita menjadi pengamat yang objektif tentu kita akan mampu menangkap keberpihakan kita, kebanyakan dari kita akan mengecam tindakan gereja yang semen- mena dalam menghakimi pihak-pihak yang bersebrangan dengannya.
          Akan tetapi  situasi tersebut sangat berbeda dengan situasi saat ini, Untuk melihat hal tersebut, pertama-tama kita harus mampu memisahkan suatu perbedaan antara dua pihak, “mana yang menindas” dan “mana yang ditindas”. Mereka yang menindas merupakan suatu kekuatan yang besar yang sering kali bertindak semena-mena dan menghakimi pihak lain secara tidak adil, sedangkan mereka yang ditindas ialah mereka yang selalu berada dalam posisi teraniaya dan tersudutkan oleh pemegang kekuatan besar. Pertanyaannya ialah siapakah saat ini yang memang merupakan suatu kekuatan besar, Agama atau Pengetahuan ilmiah modern??.


Rezim yang sebenarnya
Semenjak era pencarahan dimana naiknya paham empirisme yang didalangi Locke dan Hume ke permukaan seakan mensahkan metode pengetahuan tersebut sebgai suatu metode yang diakui secara universal, hal ini kemudian dilengkapi dengan positivisme Comte dan metode deduktif Francis Bacon  yang kemudian melahirkan keilmuan Sains. Dalam Perkembangannya Sains menunjukkan berbagai kemajuan dalam pengetahuan manusia, yang kemudian dengan alasan tersebut Sains mampu mengambil hati kebanyakan manusia di era sekarang sebagai metode pengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Jika Renaissance dan pencerahan dianggap sebagai masa transisi maka pada saat modern inilah hasil yang sesungguhnya dipetik oleh pengetahuan ilmiah ini,
Pada zaman ini dengan berkuasannya pengetahuan ilmiah, kita akan mampu melihat tindakan-tindakan otoriter yang sebenarnya, kita akan sering melihat  medan-medan pelecehan agama, baik berupa karikatur, argumen-argumen dll, semua hal ini digunakan sembari berlindung dibalik topeng kebebasan berpendapat. Konsep tentang kebebasan layak dan perlu untuk du ciri utama dari sebuah rezim, jika dahulu Agama  membunuhi para filsuf dan ilmuwan, sekarang tampaknya tak diperlukan pembunuhan secara fisik, akan tetapi ketika anak-anak kita memasuki wilayah pendidikan formal, disanalah pembunuhan yang sebenarnya telah terjadi.
Pembunuhan yang dimaksud ialah pembunuhan cara berfikir, kita menyadari bahwa cara berfikir agama dan metafisika bukanlah pilihan pertama dalam menyelesaikan atau menjelaskan suatu peristiwa, hal ini yang diajarkan oleh pendidikan kita. Bukanlah bermaksud untuk mendiskritkan pendidikan ilmiah, akan tetapi aspek keseimbangan dalam pengajarannya diperlukan mengingat pendidikan kita juga tak sepenuhnya sekuler.
Keotoriteran yang berawal dalam lingkup sekolah ini kemudian berkembang hingga keluar sekolah, dari sekolah ke kehidupan masyarakat, Perlu diingat bahwa secara umum pola pikir anak ditentukan oleh sekolahnya, cara pandang seorang anak terhadap kehidupan ketika dewasa merupakan andil besar dari sekolah yang membentuknya. Berawal dari sini agama semakin dimarjinalkan dalam lingkup ilmu pengetahuan. Tuduhan akan takhayul, mitos dan dongeng sering kali kita dengar dalam diskusi-diskusi ilmiah kita. Dan alat untuk menutupi tindakan otoriter tersebut ialah konsep kebebasan.


Kebebasan sebagai senjata rezim
Kebebasan telah menggiring manusia menuju tahap penghancuran total, keruntuhan budaya dan peradaban akan segera kita saksikan ketika konsep ini bergerak semakin tak terkendali. Banyak pihak sering kali berdalih bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat tetap terjaga selama ada hukum etik dan moral yang mendampinginya, Tapi agaknya pihak tersebut melupakan sesuatu, bahwa etika sekarang berada dalam pusaran relativis, Diana tidak memiliki esensi yang jelas dan tetap, sehingga etika sekarang yang dipahami oleh kebanyakan orang ialah etika yang berupa hasil kesepakatan umum dan tidak memiliki esensi kebaikan secara abadi
Atas dasar itu maka etika menjadi terlalu lemah untuk digunakan sebagai pengontrol konsep kebebasan, etika sering kali digiring menuju relativis yang subjektif, sehingga tidak ada jaminan bagi etika, sementara konsep kebebasan semakin bergerak liar, etika tak mampu banyak berbuat untuk menghentikannya.
Lalu kemudian muncul sebuah pertanyaan Sebenarnya apa kebebasan itu??  Hal ini bukanlah pertanyaan yang tepat untuk ditanyakan saat ini, kebebasan secara esensi bukanlah hal yang penting, akan tetapi kegunaan dari kebebasan Lay yang seharusnya menjadi fokus dari perhatian kita. Lalu kemudian muncul pertanyaan, untuk apa kebebasan tersebut?? Mengingat segala sesuatu mesti dan harus memiliki nilai guna, kebebasan tentu merupakan suatu konsep yang berguna, akan tetapi untuk apa kegunaannya manusia sekarang sering salah dalam mengaplikasikannya.
Konsep kebebasan awalnya lahir sebagai upaya perlawanan dari sebuah rezim yang otoriter. Inilah kunci dari kebebasan yakni perlawanan terhadap rezim. Dapatlah kita tengok ke belakang ketika kata “merdeka” yang bermakna “bebas mandiri” muncul ketika bangsa kita ditindas oleh penjajah, atau kata “liberte” menjadi semboyan revolusi Prancis, Dimana sebelum revolusi, rakyat Prancis mengalami penindasan di bawah Louis XVI yang otoriter. Penggunaan konsep kebebasan yang semula berfungsi untuk membebaskan manusia dari rezim, pada saat ini justru terjadi sebaliknya.
Kebebasan menjadi senjata bagi rezim pengetahuan ilmiah untuk memukul telak Agama, kiranya tak perlu lagi disebutkan contoh di sini, karena memang sudah teramat banyak contohnya yang terjadi disekeliling kita. Penggunaan konsep kebebasan untuk memperpanjang hegemoni sebuah rezim merupakan bentuk penghianatan para intelektual terhadap konsep kebebasan itu sendiri. kata “kebebasan” yang sering kita dengar sekarang bukanlah kata yang sama dengan kata “kebebasan” yang didengungkan oleh para pejuang kemerdekaan dulu. Pada era perjuangan kemerdekaan, Kata “Kebebasan” digunakan untuk berjuang secara patriotik oleh para pejuang kita, akan tetapi kata “kebebasan” sekarang digunakan oleh para intelektual untuk melayani rezim yang berkuasa.

Sang rezim Charlie
      Akhirnya, kita harus kembali mempelajari banyak hal sebelum memutuskan untuk berpihak, didepan kita ada dua pihak yang saling berhadapan, yakni pihak rezim Charlie dan pihak Agama. Saling berhadapannya kedua pihak ini bukanlah sesuatu yang aneh mengingat memang ada sejarah panjang diantara keduannya, yakni sejarah tentang benturan antara ilmu pengetahuan dan agama.
          Mungkin memang benar hukum dunia ini bagaikan roda yang berputar, kadang dibawah dan kadang diatas, pada gilirannya dan memang saat ini ialah giliran bagi agama untuk di bawah dikecam. Akan tetapi hendaknya penglihatan kita mesti lebih jernih lagi, yakni dengan melihat peristiwa ini sebagai sebuah penindasan, bukan hanya sebatas tukar posisi antara pengetahuan dan agama. Dalam sejarah manapun di dunia ini penindasan ialah sebuah kejahatan yang harus dilawan, bukan hanya diperhatikan sambil berkata bahwa itu merupakan hukum alam.

          Di ujung kata, kita memang harus memilih, memilih untuk berpihak, entah pada siapa kita berpihak, itu merupakan hak setiap orang, yang jelas ilham ada dua didepan kita, yakni memperjuangkan pembebasan dari rezim atau bergabung bersama rezim Charlie dll.