Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Minggu, 17 Agustus 2014


Abad ke 18 dikenal sebagai zaman pencerahan (Aufklarung), satu zaman yang memunculkan salah satu produk terbaik keilmuan Jerman yakni Kant  (1724-1804). Alkisah ketika keilmuan Eropa masih dibayangi oleh pengetahuan dogmatis agama muncul beberapa gerakan  untuk menduniawikan ajaran-ajaran agama guna membangkitkan kepercayaan kepada pemikiran dan ideologi. Disinilah awal bermulanya abad pencerahan yang ditandai dengan kepercayaan yang kokoh terhadap rasionalitas.

Kant merupakan anak zaman dari abad pencerahan, Kant merupakan pelopor bagi mazhab kritis, yang digunakan untuk mengkuliti rasio dan melakukan penyelidikan mendalam akan batas- batas rasio manusia. Selanjutnya Kant membagi rasio atau akal  menjadi dua, yakni akal teoritis (rasio murni) dan akal praktis (rasio praktis). Akal teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan tentang epistemologisnya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan sesuatu dan berbagai persolan tentang etikanya. Rasio praktis bagi Kant bersifat subjektif sehingga bisa juga kemudian disebut sebagai rasio subjektif hal ini dikuatkan oleh konsep Kant tentang maxim (prinsip subjektif)Maxim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap  dan tindakan konkret. Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah sikap-sikap  dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret.

Dengan mengacu pada konsep maxim, Kant seakan ingin menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kebebasan (otonom) dalam menentukan sikap dan tindakan yang bersumber dari penalaran subjektifnya. Akan tetapi kemudian hal tersebut dirasa tidak cukup bagi Kant, untuk mencapai satu tindakan yang ultimate diperlukan syarat lain guna menyempurnakan tindakan tersebut, maka kemudian dalam konsep imperatif kategoris menurut Kant perlu diadakan penguniversialan maxim-maxim yang bersifat subjektif, sehingga maxim-maxim tersebut akan menjadi hukum universal dan dapat diterima oleh masyarakat umum. Hal ini sesuai dengan rumusan Kant dalam imperatif kategoris, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga maxim kehendakmu kiranya dapat berlaku setiap saat sekaligus dapat diterapkan sebagai undang-undang yang bersifat universal”.

Masalah kemudian berkembang, Dimana instrumen untuk menguniversialkan maxim-maxim ini mengalami jalan buntu. Kemunduran dari rasio praktis (yang menjadi dasar dari maxim). Hal ini kemudian ditengarai menjadi penyebab utamanya, ialah Jurgen Habermas filsuf abad 20 yang mengkritisi rasio praktis dengan menyebutkan bahwa rasio praktis ala Kant berbeda dengan konsep rasio praktis sebelum Kant semisal Aristoteles. Dalam Filsafat Yunani klasik rasio praktis memiliki hubungan internal dengan masyarakat kultural semisal warga polis, warga polis di Yunani klasik mencoba merumuskan bersama setiap kebijakan politik guna mencapai konsensus, di sini terlihat peran rasio praktis dalam hal perumusan kebijakan politik tidak terlepas dari konteks komunitas guna mencapai konsensus. Hal yang berbeda terlihat dari konsep rasio praktis Kant yang melucuti perlengkapan sosial sedemikian rupa, sehingga rasio praktis berubah menjadi subjektif belaka.

Habermas menambahkan konsep rasio praktis ala Kant tidaklah sesuai digunakan dalam alam demokrasi dikarenakan konsep tersebut merupakan bentuk dialog monologal bahkan bersifat totaliter yang berlawanan dengan alam egaliter. Guna mengatasi hal tersebut, sebagai jembatan antara konsep maxim dan universalitas  atau rasio praktis (subjektif) menuju rasio intersubjektif maka dibutuhkan komunikasi yang bersifat diskursif guna mencapai konsensus. Komunikasi diskursif menurut habermas merupakan jawaban untuk menjembatani antara maxsim menuju universalitas, konsensus merupakan satu bentuk lain dari universalitas, Dimana dalam komunikasi diskursif ketika para pelaku mencapai sebuah konsensus berarti sama halnya dengan tercapainya universalitas antara maxim-maxim yang berkomunikasi secara intersubjektif.

Komunikasi bagi habermas menjadi sebuah solusi ketika pertentangan antar subjek-subjek tidak terelakkan, kepahaman (Konsesus) menjadi syarat bagi terciptanya pemahaman sehingga guna mencapai imperatif kategoris ala Kant tetap diperlukan bagian yang penting guna mengisinya yakni komunikasi diskursif. Pertautan konsep antara Kant dan habermas bukanlah hanya sebatas kritik habermas kepada Kant, akan tetapi merupakan satu usaha untuk membangun imperatif kategoris dengan komunikasi diskursif sebagai pelengkap kepingannya.

Sabtu, 02 Agustus 2014

       
Gelombang gerak perubahan akan selalu mewarnai guratan sejarah dunia, yang terbaru adalah kita akan mendengar negara ISIS, yang tengah mendapatkan porsi lebih di media massa lokal dan internasional, gerakan ISIS merupakan simbol perlawanan terhadap situasi yang tak kunjung membaik, ketika situasi tak kunjung diharapkan menimpa Suriah, perterungan antara pemerintah Suriah dan anti pemerintah (FSA, Tentara Suriah Merdeka). Maka muncullah gerakan ISIS yang notabene merupakan gerakan  Negara-agama. Negara-agama adalah  negara  yang pendiriannya berdasarkan misi-misi  keagamaan. Jadi negara-agama itu bertujuan untuk menyebarkan agama Tuhan dan menerapkan hukum Tuhan dalam pemerintahannya.
       Melihat tentang rekam simbol ketuhanan dalam sejarah  peradaban manusia, maka beragamlah warna kelam yang dapat kita tangkap, peperangan atas nama tuhan mengantarkan banyak manusia menuju liang kubur mereka. Sehingga tak mengherankan jika kemudian banyak orang berfikir bahwa simbol-simbol ketuhanan merupakan bentuk serangan terhadap humanisme dan kebebasan dari manusia. Manusia yang dengan bangga mengagungkan eksistensinya, yang tercermin dengan terciptakan kemajuan budaya dan teknologi, tiba-tiba harus dipaksa untuk menundukkan daya rasionalnya dihadapan simbol-simbol ketuhanan. Maka dapat diprediksi gerakan anti keagamaan atau ketuhanan mendapat dukungan lebih pada millenium ini, Humanisme sebagai fondasi eksistensi manusia mendapatkan tempat yang tinggi sebagai prinsip hidup manusia, ditambah dengan materialisme yang menjadi pelengkap daya rasionalitas manusia, seakan bersatu untuk menyingkirkan simbol-simbol Tuhan dan agama dari dalam diri manusia.
       Alhasil saat ini, setiap simbol-simbol ketuhanan atau keagamaan yang berkumandang maka akan selalu mendapat penolakan dan sinisme yang tajam dari orang-orang sekelilingnya. Tak terkecuali ISIS, Terlepas dari motif politiknya secara esensial, ISIS merupak satu gerakan yang bertujuan untuk menjadikan hukum Tuhan sebagai landasan negara mereka, ulah ISIS ini kemudian mendapatkan berbagai kecaman dari berbagai kalangan, Humanisme berbicara dengan lantang mengenai pembunuhan dan perampokan yang dilakukan oleh ISIS, serangan juga datang dari Demokrasi yang mempertanyakan tentang sistem Negara-agama  yang diusung ISIS sangat sarat akan diskriminasi dan mengkebiri hak-hak agama minoritas. Tak ketinggalan aliran Feminisme ikut mengkritisi dengan dalih emansipasi dalam sistem kepemimpinan Negara-agama.
       Di negara kita hal ini pun tak menjadi basi, dan selalu diulas oleh forum-forum diskusi, sebuah negara yang bertuhan menghadapi gejolak dikarenakan perbedaan konsep tentang Tuhan dalam implikasinya. Tuhan berinstrument lewat negara dan pemerintahan seru kaum puritan, kaum mayoritas kemudian berseru menolak dengan dalih demokrasi, konsensus dan pluralisme. Isu-isu nasionalisme kemudian digoreng di meja-meja pendidikan sebagai dalih penguat kaum nasionalis. Kemudian muncul wacana-wacana dan kajian-kajian baru tentang tuhan yang segera menguap akibat tiupan kaum ekstremis.
       Akhirnya mungkin kita harus lebih berfikir lagi akan konsep Tuhan yang dipertentangkan saat ini. Mungkin akar permasalahannya terletak pada ketuhanan macam apa yang melandasi pergerakan ISIS dan Tuhan seperti apa yang mati-matian ingin disingkirkan oleh Humanisme, demokrasi dan feminisme. Apakah ketuhanan tersebut merupakan ketuhanan kita, ataukah ketuhanan tersebut berbeda dengan ketuhanan kita, atau mungkin kita ketuhanan kita benar karena kita mayoritas, atau minoritas merupakan produk unggul pengawal kebenaran, atau  jangan-jangan tuhan-tuhan kecil sedang berperang dihadapan kita sembari saling berteriak, bahwa mereka adalah Tuhan yang sebenarnya. Sebuah fenomena tentang Tuhan yang bertuhan.