Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Kamis, 11 Desember 2014


Menjelang akhir tahun 2014, situasi perpolitikan di dalam negeri terasa semakin memanas. Kontruksi Trias Politica, Dimana kontrol terhadap pemerintahan di tangan parlemen terancam buyar ketika koalisi oposisi mulai tergerogoti, diakibatkan perpecahan secara internal dalam partai-partai pembentuk koalisi. Disana ada Golkar, partai berlambang pohon beringin yang telah malang melintang di dunia perpolitikan Indonesia sejak tahun 1964 memulai sebuah langkah mengejutkan pada tahun ini, dengan memilih berada dalam pihak oposisi.
Sebuah langkah berani yang tentunya meninggalkan beberapa resiko, Dimana banyak pihak dalam kondisi internal partai yang mulai melakukan perlawanan terhadap kebijakan tersebut. Berangkat dari kondisi tersebut mulailah muncul berbagai tudingan, intervensi pemerintah dianggap sebagai penyebab perpecahan di dalam partai.  Dimulai dari pernyataan  Menko Polhukam Tedjo Edi Purdijatno yang menyiratkan ketidakdukungannya terhadap munas Bali versi Ical. Seakan mengisyaratkan campur tangan pemerintah untuk mengambil alih Golkar via munas Ancol.
Ibarat teka-teki yang mudah tertebak, setelah prosesi munas Ancol yang mampu mengantarkan Agung Laksono sebagai ketum Golkar, maka dengan suara bulat Golkar memutuskan untuk menarik dukungan dari koalisi oposisi. Terlepas dari kepentingan politik manapun, ada semacam harapan dari masyarakat politik nusantara untuk dapat melihat kesolidan dari partai pohon beringin tersebut. Harapan dari masyarakat politik tersebut mewujud dalam sebuah bentuk akan idealisme Golkar. Suatu bentuk partai Golkar yang ideal, yang telah terlepas dari kepentingan politis pragmatis.

Idealisme Hegel
Kata idealisme sendiri mengigatkan akan filsafat idealisme, dalam wawasan filsafat, kata Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik, di Jerman sekitar abad ke 17 Gottfried Leibniz memberikan suatu penekanan tentang aliran idealisme yang menjadi counter terhadap aliran materialisme.
Hegel merupakan filsuf terbesar dalam filsafat idealisme, Hegel menggunakan dialektika dalam metode berfilsafat. Dialektika menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis (kesatuan kontradiksi). Proses perkembangan dunia selalu sesuai dengan hukum dialektika, bahkan terdengar metafisis ketika Hegel menyebutkan bahwa seluruh proses dunia atau sejarah merupakan proses perkembangan dari sebuah roh.
Hakikat dari roh adalah ide atau pikiran, dan dari pikiran kenyataan terbentuk, sepertidalam pernyataan Hegel “semua yang riil adalah rasio, rasio sama luasnya dengan realitas”  jadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ruh merupakan sebuah realitas. Selanjutnya Hegel juga menambahkan bahwa yang mutlak adalah roh, Roh pada mulanya berada dalam dirinya sesuai dengan hukum dialektika Roh meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada yang Mutlak.

Kembali ke Bumi
Pada pada kasus Dualisme Golkar, Hegel mungkin akan memandang perpecahan dalam internal Golkar sebagai Proses dialektika, Ketika Golkar versi Ical adalah tesa, mendapat perlawana dari Golkar versi Agung sebagai antitesa, yang berfungsi sebagai negasi terhadap esa. Akan tetapi konflik tersebut tidaklah harus berhenti disitu. Sejak awal Hegel percaya bahwa ruh akan selalu berkembang, hal ini mengisyaratkan akan perkembangan proses sejarah, termasuk Golkar didalamnya yang terangkum dalam hukum dialektika. Ruh harus terus berkembang guna mencapai yang mutlak.
Disini proses sintesa diperlukan, guna mengembangkan ruh pada dataran yang lebih tinggi. Golkar ideal akan tercapai menurut Hegel jika penyatuan beberapa elemen dari Golkar Ical dan Agung mampu tercapai. Dan ketika hal tersebut tercapai maka Golkar Ideal ini akan memasuki tahap Ruh Absolut (mutlak). Indikasi akan penyatuan tersebut sebenarnya sudah mulai terlihat ketika Ical memutuskan untuk mendukung koalisi pemerintah dalam kasus Pilkada langsung. Jika hal ini memang benar terjadi maka sebenarnya yang terjadi adalah bukanlah perpecahan yang menimpa Golkar, akan tetapi terjadi sebuah proses peningkata diri dari Golkar itu sendiri.
Golkar Ideal
Masyarakat politik nusantara tentu menantikan Golkar seperti apa yang muncul kelak ke permukaan, Proses dualisme yang terjadi saat ini haruslah dipandang sebagai proses dialektika, agar peningkatan diri Golkar mampu terwujud dan menjadi ideal, akan tetapi perlu diingat bahwa Hegel juga mengisyaratkan jalan lain guna menjadi ideal tanpa harus melalui proses sintesa, andaikata proses sintesa ini tidak dapat terjadi, maka seperti Hegel akan berkata ”Hanya yang rasional yang akan kekal” yang berarti Golkar versi manapun tidaklah masalah  selama dia tetap mampu bertahan dalam kerasnya gerak sejarah dunia maka Golkar versi tersebutlah yang Ideal.
Seperti yang sudah di jelaskan bahwa bahwa hakikat ruh adalah ide rasional, dan ruh merupakan sesuatu yang mutlak atau kekal, maka dapat disimpulkan Golkar yang keluar sebagai pemenang dalam ujian sejarah ini, ialah Golkar yang tetap eksisi dalam dunia perpolitikan nusantara, maka tidak dapat diragukan lagi, Golkar manapun itu, tapi itu pasti sebuah Golkar yang merupakan manifestasi dari Ruh yang bersifat rasional.

Harapan akan eksistensi
            Terlepas dari kepentingan apapun, Golkar merupakan suatu partai besar yang sangat berpengaruh dalam kancah perpolitikan Indonesia, tentu saja pertaruhannya adalah nama besar  partai tersebut. Tradisi akan kejayaan partai pohon beringin adalah sebuah pertaruhan dalam polemik dualisme partai tersebut. Kegigihan Golkar dalam mengatasi dualisme ini akan menjadi contoh bagi partai-partai lainnya ketika menghadapi masalah yang sama.
            Maka sebagai masyarakat politik, marilah kita sanksikan bersama-sama sembari menaruh harapan, bahwa partai tua ini mampu menjalani konflik dualismenya demi menuju proses keidealan. Eksistensi Golkar tetaplah menjadi harapan bagi panggung perpolitikan kita, dikarenakan pengaruh politisnya yang sering menjadi magnet bagi partai-partai lainnya. Dan akhirnya, semoga dengan adanya konflik dualisme ini, tidaklah membuat redupnya cahaya eksistensi Golkar, akan tetapi justru sebaliknya malah mampu memperbesar cahaya kebesaran dan keagunggan tradisi partai tua ini. Semoga...