Menjelang
akhir tahun 2014, situasi perpolitikan di dalam negeri terasa semakin memanas.
Kontruksi Trias Politica, Dimana
kontrol terhadap pemerintahan di tangan parlemen terancam buyar ketika koalisi
oposisi mulai tergerogoti, diakibatkan perpecahan secara internal dalam
partai-partai pembentuk koalisi. Disana ada Golkar, partai berlambang pohon
beringin yang telah malang melintang di dunia perpolitikan Indonesia sejak
tahun 1964 memulai sebuah langkah mengejutkan pada tahun ini, dengan memilih
berada dalam pihak oposisi.
Sebuah
langkah berani yang tentunya meninggalkan beberapa resiko, Dimana banyak pihak
dalam kondisi internal partai yang mulai melakukan perlawanan terhadap
kebijakan tersebut. Berangkat dari kondisi tersebut mulailah muncul berbagai
tudingan, intervensi pemerintah dianggap sebagai penyebab perpecahan di dalam
partai. Dimulai dari pernyataan Menko
Polhukam Tedjo Edi Purdijatno yang menyiratkan ketidakdukungannya
terhadap munas Bali versi Ical. Seakan mengisyaratkan campur tangan pemerintah
untuk mengambil alih Golkar via munas Ancol.
Ibarat
teka-teki yang mudah tertebak, setelah prosesi munas Ancol yang mampu
mengantarkan Agung Laksono sebagai ketum Golkar, maka dengan suara bulat Golkar
memutuskan untuk menarik dukungan dari koalisi oposisi. Terlepas dari
kepentingan politik manapun, ada semacam harapan dari masyarakat politik
nusantara untuk dapat melihat kesolidan dari partai pohon beringin tersebut. Harapan
dari masyarakat politik tersebut mewujud dalam sebuah bentuk akan idealisme
Golkar. Suatu bentuk partai Golkar yang ideal, yang telah terlepas dari
kepentingan politis pragmatis.
Idealisme
Hegel
Kata
idealisme sendiri mengigatkan akan filsafat idealisme, dalam wawasan filsafat,
kata Idealisme berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa
(Plato), jadi pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan
merendahkan hal-hal yang materi dan fisik, di Jerman sekitar abad ke 17 Gottfried
Leibniz memberikan suatu penekanan
tentang aliran idealisme yang menjadi counter
terhadap aliran materialisme.
Hegel merupakan filsuf terbesar dalam filsafat
idealisme, Hegel menggunakan dialektika dalam metode berfilsafat. Dialektika
menurut Hegel adalah dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan, atau biasa
dikenal dengan tesis (pengiyaan), antitesis (pengingkaran) dan sintesis
(kesatuan kontradiksi). Proses perkembangan dunia selalu sesuai dengan hukum
dialektika, bahkan terdengar metafisis ketika Hegel menyebutkan bahwa seluruh
proses dunia atau sejarah merupakan proses perkembangan dari sebuah roh.
Hakikat dari roh adalah ide atau pikiran, dan dari
pikiran kenyataan terbentuk, sepertidalam pernyataan Hegel “semua yang riil
adalah rasio, rasio sama luasnya dengan realitas” jadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa ruh
merupakan sebuah realitas. Selanjutnya Hegel juga menambahkan bahwa yang mutlak
adalah roh, Roh pada mulanya berada dalam dirinya sesuai dengan hukum
dialektika Roh meningkatkan diri, tahap demi tahap, menuju kepada yang Mutlak.
Kembali ke Bumi
Pada pada kasus Dualisme Golkar, Hegel mungkin akan
memandang perpecahan dalam internal Golkar sebagai Proses dialektika, Ketika
Golkar versi Ical adalah tesa,
mendapat perlawana dari Golkar versi Agung sebagai antitesa, yang berfungsi sebagai negasi terhadap esa. Akan
tetapi konflik tersebut tidaklah harus berhenti disitu. Sejak awal Hegel
percaya bahwa ruh akan selalu berkembang, hal ini mengisyaratkan akan
perkembangan proses sejarah, termasuk Golkar didalamnya yang terangkum dalam
hukum dialektika. Ruh harus terus berkembang guna mencapai yang mutlak.
Disini proses sintesa
diperlukan, guna mengembangkan ruh pada dataran yang lebih tinggi. Golkar ideal
akan tercapai menurut Hegel jika penyatuan beberapa elemen dari Golkar Ical dan
Agung mampu tercapai. Dan ketika hal tersebut tercapai maka Golkar Ideal ini
akan memasuki tahap Ruh Absolut (mutlak). Indikasi akan penyatuan tersebut
sebenarnya sudah mulai terlihat ketika Ical memutuskan untuk mendukung koalisi
pemerintah dalam kasus Pilkada langsung. Jika hal ini memang benar terjadi maka
sebenarnya yang terjadi adalah bukanlah perpecahan yang menimpa Golkar, akan
tetapi terjadi sebuah proses peningkata diri dari Golkar itu sendiri.
Golkar Ideal
Masyarakat politik nusantara tentu menantikan Golkar
seperti apa yang muncul kelak ke permukaan, Proses dualisme yang terjadi saat
ini haruslah dipandang sebagai proses dialektika, agar peningkatan diri Golkar
mampu terwujud dan menjadi ideal, akan tetapi perlu diingat bahwa Hegel juga
mengisyaratkan jalan lain guna menjadi ideal tanpa harus melalui proses sintesa, andaikata proses sintesa ini tidak dapat terjadi, maka
seperti Hegel akan berkata ”Hanya yang rasional yang akan kekal” yang berarti
Golkar versi manapun tidaklah masalah
selama dia tetap mampu bertahan dalam kerasnya gerak sejarah dunia maka
Golkar versi tersebutlah yang Ideal.
Seperti yang sudah di jelaskan bahwa bahwa hakikat
ruh adalah ide rasional, dan ruh merupakan sesuatu yang mutlak atau kekal, maka
dapat disimpulkan Golkar yang keluar sebagai pemenang dalam ujian sejarah ini,
ialah Golkar yang tetap eksisi dalam dunia perpolitikan nusantara, maka tidak
dapat diragukan lagi, Golkar manapun itu, tapi itu pasti sebuah Golkar yang
merupakan manifestasi dari Ruh yang bersifat rasional.
Harapan akan eksistensi
Terlepas
dari kepentingan apapun, Golkar merupakan suatu partai besar yang sangat
berpengaruh dalam kancah perpolitikan Indonesia, tentu saja pertaruhannya
adalah nama besar partai tersebut.
Tradisi akan kejayaan partai pohon beringin adalah sebuah pertaruhan dalam
polemik dualisme partai tersebut. Kegigihan Golkar dalam mengatasi dualisme ini
akan menjadi contoh bagi partai-partai lainnya ketika menghadapi masalah yang
sama.
Maka sebagai masyarakat politik,
marilah kita sanksikan bersama-sama sembari menaruh harapan, bahwa partai tua
ini mampu menjalani konflik dualismenya demi menuju proses keidealan.
Eksistensi Golkar tetaplah menjadi harapan bagi panggung perpolitikan kita, dikarenakan
pengaruh politisnya yang sering menjadi magnet bagi partai-partai lainnya. Dan
akhirnya, semoga dengan adanya konflik dualisme ini, tidaklah membuat redupnya
cahaya eksistensi Golkar, akan tetapi justru sebaliknya malah mampu memperbesar
cahaya kebesaran dan keagunggan tradisi partai tua ini. Semoga...