Segala hal di dunia ini membutuhkan pengakuan, Suatu kualitas, nilai atau karya tanpa suatu pengakuan adalah nihil, dewasa ini sering kita jumpai berbagai aktivitas-aktivitas kolektif dalam lingkup kehidupan sosial yang memberlakukan hal tersebut, kita bisa ambil contoh tentang acara seminar ataupun sebuah diklat organisasi, ketika di akhir acara pastilah dapat kita tebak jika si panitianya akan memberikan suatu bentuk pengakuan bagi pesertanya yaitu "Sertifikat". Pengakuan adalah suatu syarat mutlak bagi subjek ataupun objek untuk tetap ada (exist) itulah yang menjadi tren di tengah-tengah dunia kita.
Yang menjadi aneh apabila sebuah kualitas atau nilai ditentukan oleh pengakuan, pengakuan akantetap menjadi virus jinak ketika ia tetap berada dalam jalurnya yaitu suatu jalur yang berfungsi untuk menghargai suatu kualitas atau nilai, akan tetapi suatu keganjilan akan terjadi jika pengakuan malah masuk dalam jalur lain, yakni suatu jalur yang membuat kualitas atau nilai. Hendaklah kedua hal ini kita cermati dengan benar, ada dua jenis hal yang akan coba saya hubungkan disini yaitu berkenaan akan nilai dan kualitas. mari kita berangkat dari kualitas ketika seorang dianggap ilmuan hebat ketika menerima nobel,atau Blackberry dianggap lebih baik dari cross.Sebenarnya hal-hal tersebut tidaklah menjadi soal ketika pengakuan (nobel,dan Blackberry) memang diadakan untuk menghargai suatu kualitas dari objek atau subjek, akan tetapi ketika keaadaan sudah memaksa logika dunia untuk terbalik adalah apa yang terjadi untuk saat ini, Orang tua menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang prestius untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa kualitas si anak memang baik, ada semacam penerobosan jalur di sini ketika pengakuan masyarakat yang awalnya merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk menghargai kualitas si anak yang bersekolah justru yang terjadi sebaliknya yakni sekolah si anak adalah faktor yang membentuk pengakuan masyarakat dan pengakuan masyarakat akan membentuk kualitas si anak.
Efek yang terjadi akibat pola berfikir seperti ini menyebabkan kemunafikan dan penipuan dari kualitas yang orisinil sehingga ketika pasar perdagangan mencium fenomena ini maka dalam sekejab marak akan simbol-simbol pengakuan instant yang menjamur seperti ijazah palsu, sertifikat-sertifikat instant dll. masyarakat yang hampir seperti patung tak berotak juga mengikuti model berfikir seperti ini, asalkan terdapat rentetan gelar di belakang nama maka dapat dipastikan kualitas kecerdasannya. Why??, kenapa ini yang terjadi, mudah saja menjawabnya bentuk pengakuan yang awalnya untuk menghargai telah berubah fungsi menjadi pencipta sebuah kualitas, belum lama ini sedang marak fenomena Viky Prasetyo tentang bahasa yang dia jadi kan sebagai sebuah topeng untuk mendapatkan suatu pengakuan akan kecerdasan, dan yang nahas nampaknya si pelaku terlalu berani dan tak punya keahlian dalam bereksperiment dengan kata, alhasil bukanya malah mendapat pengakuan tapi tertawaanlah yang ia dapat dari aksinya.
Jika melihat peristiwa diatas masalah ini tidak hanya berhenti di kengawuran Vicky saja, akan tetapi masalah ini juga menyangkut kengawuran masyarakat yang membuat aturan bahwa pengakuan adalah pencipta kualitas, Kita pasti sudah bisa menebak apa sebenarnya motif si Vicky melakukan hal seperti itu, tentu saja hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat, nampaknya si Vicky telah sadar bahwa pengakuan masyarakatlah yang menentukan kualitas, Kualitas tanpa pengakuan adalah suatu omong kosong. nampaknya kita sudah mulai harus berhenti menertawakan Fenomena Vicky, karena sudah saatnya bagi kita untuk menertawakan diri kita sendiri.
Yang kedua tentang pengakuan nilai. Nilai disini akan saya persempit menjadi nilai etik dan moral. ada bebarapa orang ketika ditanya tentang nilai maka mereka akan menjawab bahwa nilai moral dan etik hanyalah suatu kesepakatan umum atau konvensi dari orang-orang terdahulu, sehingga seharusnya nilai moral dan etik bersifat relatif karena sebenarnya antara baik dan benar hanya merupakan kesepakatan umum. jawaban ini nampaknya tanpa kita sadari sering kita dengar dan cukup rasional di otak kita dan jawaban seperti inilah yang disebut dengan relativisme etika, akan tetapi masalah akan muncul ketika saya mengutarakan pertanyaan seperti ini, "Lalu apakah tidak ada nilai moral yang absolut?? atau apakah tidak ada suatu nilai moral yang memang benar secara subtansi??"
Jawabanya sebenarnya mudah, yaitu ada nilai moral yang secara hakikat memang benar dan mutlak, itulah yang disebut dengan moral intrinsik, moral intrinsik hanya akan membahas nilai-nilai moral secara subtansi atau hakikat. untuk lebih jelasnya mari kita ambil contoh kasus "Firly mencuri" jika Firly di tanya kenapa dia mencuri maka dia akan menjawab dengan jawaban relativisme bahwa mencuri itu bukan tindakan salah secara moral toh nilai moral juga dibentuk berdasarkan kesepakatan umum, jadi secara hakikat mencuri itu tidak salah. Jawaban firly masuk akal, akan tetapi bayangkan jika mencuri akan dilegalkan karena pemerintah menganggap nilai moral hanya kesepakatan belaka sehingga baik dan buruk adalah relatif, Apakah bisa kita hidup dalam dunia seperti itu? apakah bisa kita tenang dalam keadaan seperti itu?? tentu saja jawabannya adalah "tidak".
Lalu dimanakah hubunganya dengan pengakuan??? sebelumnya kita harus menyelesaikan masalah Relativisme dulu. Setelah kita sepakat bahwa Relativisme etika tidak bisa kita terima kita sekarang harus mencoba mencari sebab dari timbulnya paham ini, berangkat dari pengertiannya bahwa relativisme etik adalah suatu paham yang menganggap bahwa etika dan moral bersifat relatif dikarenakan etika dan moral hanyalah berasal dari kesepakatan umum. Hendaknya kita garis bawahi kata kesepakatan umum. Kesepakatan umum dapat juga diartikan sebagai pengakuan secara umum atau persetujuan secara umum, saya sudah memberikan suatu contoh diatas yang menggambarkan alangkah hancurnya kehidupan kita jika relativisme etik ini berkembang dengan luas di masyarakat, tak ada lagi benar dan salah secara absolut membuat semua nilai moral menjadi kabur sehingga tak ada bedanya antara perbuatan mulia dan hina, kasih dan kejam, layak dan menjijikkan. ternyata jika kita urut lebih jauh akar munculnya paham ini terletak dari pemikiran yang menyebutkan bahwa pengakuan yang menciptakan nilai moral dan etik. jika pengakuan yang menciptakan sebuah nilai makan yang akan terjadi adalah nilai-nilai yang diciptakan bersifat relatif dan mudah kabur hal ini dikarenakan tidak adanya kestabilan dalam tatanan nilai tersebut.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pengakuan sebagai pencipta hanya akan merusak kebudayaan dan peradaban suatu masyarakat, hendaknya kita tempatkan kembali pengakuan sebagai bentuk penghargaan bukan pencipta, caranya??? ubah cara berfikir anda, karena cara berfikir andalah yang menentukan dunia (Arthur Schopenhauer).
Yang menjadi aneh apabila sebuah kualitas atau nilai ditentukan oleh pengakuan, pengakuan akantetap menjadi virus jinak ketika ia tetap berada dalam jalurnya yaitu suatu jalur yang berfungsi untuk menghargai suatu kualitas atau nilai, akan tetapi suatu keganjilan akan terjadi jika pengakuan malah masuk dalam jalur lain, yakni suatu jalur yang membuat kualitas atau nilai. Hendaklah kedua hal ini kita cermati dengan benar, ada dua jenis hal yang akan coba saya hubungkan disini yaitu berkenaan akan nilai dan kualitas. mari kita berangkat dari kualitas ketika seorang dianggap ilmuan hebat ketika menerima nobel,atau Blackberry dianggap lebih baik dari cross.Sebenarnya hal-hal tersebut tidaklah menjadi soal ketika pengakuan (nobel,dan Blackberry) memang diadakan untuk menghargai suatu kualitas dari objek atau subjek, akan tetapi ketika keaadaan sudah memaksa logika dunia untuk terbalik adalah apa yang terjadi untuk saat ini, Orang tua menyekolahkan anaknya pada jenjang pendidikan yang prestius untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat bahwa kualitas si anak memang baik, ada semacam penerobosan jalur di sini ketika pengakuan masyarakat yang awalnya merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk menghargai kualitas si anak yang bersekolah justru yang terjadi sebaliknya yakni sekolah si anak adalah faktor yang membentuk pengakuan masyarakat dan pengakuan masyarakat akan membentuk kualitas si anak.
Efek yang terjadi akibat pola berfikir seperti ini menyebabkan kemunafikan dan penipuan dari kualitas yang orisinil sehingga ketika pasar perdagangan mencium fenomena ini maka dalam sekejab marak akan simbol-simbol pengakuan instant yang menjamur seperti ijazah palsu, sertifikat-sertifikat instant dll. masyarakat yang hampir seperti patung tak berotak juga mengikuti model berfikir seperti ini, asalkan terdapat rentetan gelar di belakang nama maka dapat dipastikan kualitas kecerdasannya. Why??, kenapa ini yang terjadi, mudah saja menjawabnya bentuk pengakuan yang awalnya untuk menghargai telah berubah fungsi menjadi pencipta sebuah kualitas, belum lama ini sedang marak fenomena Viky Prasetyo tentang bahasa yang dia jadi kan sebagai sebuah topeng untuk mendapatkan suatu pengakuan akan kecerdasan, dan yang nahas nampaknya si pelaku terlalu berani dan tak punya keahlian dalam bereksperiment dengan kata, alhasil bukanya malah mendapat pengakuan tapi tertawaanlah yang ia dapat dari aksinya.
Jika melihat peristiwa diatas masalah ini tidak hanya berhenti di kengawuran Vicky saja, akan tetapi masalah ini juga menyangkut kengawuran masyarakat yang membuat aturan bahwa pengakuan adalah pencipta kualitas, Kita pasti sudah bisa menebak apa sebenarnya motif si Vicky melakukan hal seperti itu, tentu saja hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat, nampaknya si Vicky telah sadar bahwa pengakuan masyarakatlah yang menentukan kualitas, Kualitas tanpa pengakuan adalah suatu omong kosong. nampaknya kita sudah mulai harus berhenti menertawakan Fenomena Vicky, karena sudah saatnya bagi kita untuk menertawakan diri kita sendiri.
Yang kedua tentang pengakuan nilai. Nilai disini akan saya persempit menjadi nilai etik dan moral. ada bebarapa orang ketika ditanya tentang nilai maka mereka akan menjawab bahwa nilai moral dan etik hanyalah suatu kesepakatan umum atau konvensi dari orang-orang terdahulu, sehingga seharusnya nilai moral dan etik bersifat relatif karena sebenarnya antara baik dan benar hanya merupakan kesepakatan umum. jawaban ini nampaknya tanpa kita sadari sering kita dengar dan cukup rasional di otak kita dan jawaban seperti inilah yang disebut dengan relativisme etika, akan tetapi masalah akan muncul ketika saya mengutarakan pertanyaan seperti ini, "Lalu apakah tidak ada nilai moral yang absolut?? atau apakah tidak ada suatu nilai moral yang memang benar secara subtansi??"
Jawabanya sebenarnya mudah, yaitu ada nilai moral yang secara hakikat memang benar dan mutlak, itulah yang disebut dengan moral intrinsik, moral intrinsik hanya akan membahas nilai-nilai moral secara subtansi atau hakikat. untuk lebih jelasnya mari kita ambil contoh kasus "Firly mencuri" jika Firly di tanya kenapa dia mencuri maka dia akan menjawab dengan jawaban relativisme bahwa mencuri itu bukan tindakan salah secara moral toh nilai moral juga dibentuk berdasarkan kesepakatan umum, jadi secara hakikat mencuri itu tidak salah. Jawaban firly masuk akal, akan tetapi bayangkan jika mencuri akan dilegalkan karena pemerintah menganggap nilai moral hanya kesepakatan belaka sehingga baik dan buruk adalah relatif, Apakah bisa kita hidup dalam dunia seperti itu? apakah bisa kita tenang dalam keadaan seperti itu?? tentu saja jawabannya adalah "tidak".
Lalu dimanakah hubunganya dengan pengakuan??? sebelumnya kita harus menyelesaikan masalah Relativisme dulu. Setelah kita sepakat bahwa Relativisme etika tidak bisa kita terima kita sekarang harus mencoba mencari sebab dari timbulnya paham ini, berangkat dari pengertiannya bahwa relativisme etik adalah suatu paham yang menganggap bahwa etika dan moral bersifat relatif dikarenakan etika dan moral hanyalah berasal dari kesepakatan umum. Hendaknya kita garis bawahi kata kesepakatan umum. Kesepakatan umum dapat juga diartikan sebagai pengakuan secara umum atau persetujuan secara umum, saya sudah memberikan suatu contoh diatas yang menggambarkan alangkah hancurnya kehidupan kita jika relativisme etik ini berkembang dengan luas di masyarakat, tak ada lagi benar dan salah secara absolut membuat semua nilai moral menjadi kabur sehingga tak ada bedanya antara perbuatan mulia dan hina, kasih dan kejam, layak dan menjijikkan. ternyata jika kita urut lebih jauh akar munculnya paham ini terletak dari pemikiran yang menyebutkan bahwa pengakuan yang menciptakan nilai moral dan etik. jika pengakuan yang menciptakan sebuah nilai makan yang akan terjadi adalah nilai-nilai yang diciptakan bersifat relatif dan mudah kabur hal ini dikarenakan tidak adanya kestabilan dalam tatanan nilai tersebut.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pengakuan sebagai pencipta hanya akan merusak kebudayaan dan peradaban suatu masyarakat, hendaknya kita tempatkan kembali pengakuan sebagai bentuk penghargaan bukan pencipta, caranya??? ubah cara berfikir anda, karena cara berfikir andalah yang menentukan dunia (Arthur Schopenhauer).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar