Sama halnya dengan segala hal di dunia ini, tidak akan pernah ada sesuatu yang tetap baik dalam hal kualitas ataupun dalam hal makna, segala sesuatu mengalami perubahan, pergeseran, penambahan maupun pengurangan. Tak terkecuali dengan apa yang kita pahami selama ini yang biasa kita sebut cinta. dari zaman ke zaman cinta terus mengalami perubahan baik dalam tataran makna maupun dalam tataran fisik. kali ini saya akan mencoba untuk menganalisa cinta dari dimensi filosofis dengan menyatukan tiga konsep pemikiran dari Hegel, Karl Marx dan Guy Debord, kenapa harus mereka? dikarenakan menurut hemat saya tiga jenis pemikir ini mampu dianggap sebagai perwakilan dari zaman mereka masing-masing yakni zaman tradisional (Hegel), modern (Karl Marx) dan postmodern (Guy Debord) , hal ini dimaksudkan untuk menemukan gambaran akan perkembangan dan jenis seperti apa yang relevan dianut masyarakat pada umumnya di era postmodernis sekarang ini.
Sekarang ini diakui telah memasuki suatu era yang tak pernah terjadi pada era-era sebelumya, posmodernis kata sebagaian ilmuwan, adalah suatu era yang tepat jika digunakan untuk menyebutkan era saat ini. terjadi berbagai kejutan di era saat ini, mulai dari teknologi virtual yang selalu mengepung kita, hingga derasnya informasi dan produksi yang terus mengalir di sekeliling kita, tanpa sadar kejadian-kejadian tersebut turut mempengaruhi tingkah aktivitas, kperibadian dan pradigma kita dalam kehidupan sehari-hari, nampaknya Cinta juga terpengaruh akan hal- hal tersebut, dan kemudian jenis cinta seperti tipe inilah yang kemudian dianut dan dipakai oleh kebanyakan masyarakat dewasa. dalam menjelaskan tahapan cinta ini saya membagi cinta menjadi 4 tahap yang tentunya tahapan tersebut mengacu pada konsep 3 filsuf diatas.
Yang pertama adalah "cinta sebagai ruh" (Substance), istilah ruh disini sengaja saya pinjam dari konsep "ruh absolut" Wilhelm friedrich Hegel (1770-1831) dimana dalam penjelasan teori hegel mengatakan bahwa intisari dari realitas semesta ini terletak pada "ruh absolut" alhasil realitas yang nampak pada kita merupakan manifestasi dari ruh absolut, jika kita geser konsep ini pada dimensi cinta maka akan menghasilkan suatu jenis cinta secara subtansi, dan bukanlah pada apa yang nampak pada kita,
hal ini dikarenakan wujud-wujud cinta yang nampak pada kita merupakan manifestasi dari cinta yang sebenarnya bersifat subtansi( tak mampu di indra) karena tak mampu di indra tentu saja cinta jenis ini tak nampak dalam aktivita,tindakan atau prilaku, lebih tepatnya pengertian ini dapat kita masukkan dalam kalimat "seorang yang bertingkah seperti seorang pecinta belum tentu mempunyai cinta di hatinya" jadi cinta dalam tahap ini dapat juga disebut sebagai cinta dalam hati atau semisal dengan perumpamaan-perumpamaan yang sedemikian rupa.
Yang kedua adalah "cinta sebagai ada" (being), mengacu pada konsep diaklektika materialisme Karl Heinrich Marx (1818-1883),Sebenarnya konsep asli dari marx adalah tentang nilai guna yang melekat dari setiap barang ataupun benda yang "ada", dan "nilai guna ini kemudian diterapkan pada dimensi ekonomi sebagai syarat "ada"nya barang", sehingga dapat juga pengertian tersebut dibalik menjadi "barang tersebut menjadi ada ketika memiliki nilai guna" atau dapat juga diambil kesimpulan "ada" sama dengan "nilai guna", berangkat dari hal tersebut maka "ada" saya pinjam dan saya bawa ke dimensi cinta. "ada" disini bersifat kata kerja sehingga cinta dalam tahapan ini memiliki kualitas tindakan atau prilaku, penekanan pentingnya prilaku dan tindakan dalam tataran cinta ini, membuat intisari dari cinta terletak pada tindakan sehingga pengertian "cinta sebagai ada" dapat tercermin dalam kalimat "Seakan semua tatapan dan bujuk rayumu menyatakan bahwa kau mencintaiku" aktivitas adalah pertanda akan cinta dan cinta terletak dalam tindakan dan perkataan pecinta terhadap yang dicintai.
Yang ketiga ialah "Cinta sebagai memiliki (Having), masih mengambil dari konsep Karl Marx akan tetapi yang saya pakai adalah konsep tentang tentang "nilai tukar" yang dalam perkembangan ekonomi kapitalis berubah bentuk menjadi "uang", uang memiliki fungsi sebagai alat untuk memiliki suatu benda, maka berangkat dari nilai tukar yang berfungsi untuk memiliki dapat kita pindah kedalam ranah cinta, dimana cinta adalah kepemilikan, memiliki (having) merupakan suatu kata kerja, sehingga dalam jenis cinta ini kepemilikan merupakan dasar dari cinta, jika kita belum memiliki (pacaran/menikah) maka tentu saja tak ada cinta, sehingga cinta berarti adalah berpacaran atau menikah, pengertian tersebut dapat tercermin dalam kalimat "Jadikanlah aku pacarmu jika kau memang cinta padaku". jenis cinta seperti inilah yang mendasari adanya konsep pacaran dan tentunya membuat konsep selingkuh sebagai negatif karena dianggap melaggar hak milik orang lain.
Dan yang terakhir adalah "Cinta sebagai penampakan" (appearing), konsep "penampakan" saya ambil dari konsep Guy Debord (1931-1994)yang menyatakan bahwa masyarakat era postmodern telah mengalami ketertipuan yang dilakukan oleh pihak iklan dan media.Cara penipuan tersebut terjadi dengan menggeser kenyataan menuju penampakan, bungkus, label dan bentuk luar menjadi komoditas utama masyarakat postmodernis sehingga masyarakat posmodernis melupakan tentang inti dan tertipu dengan penampakan. jika kita geser konsep "penampakan" ini terhadap dimensi cinta, maka akan menjadikan cinta berfokus hanya pada penampilan luar saja, dan inilah menurut saya yang terjadi sekarang, ketika makna digantikan oleh citra, kedalaman digantikan oleh permukaan, maka yang menjadi tujuan dalam masyarakat postmodernis hanya bentuk luar,permukaan dan citraan yang semua itu tergabung dalam penampakan. Jean Baudrillard (1929-2007) mengatakan bahwa wajah masyarakat kita sekarang adalah wajah kepalsuan, dimana sesosok wajah yang penuh dengan balutan artifisal seperti layaknya bedak,pemutih dll, sehingga yang ditemukan dalam wajah manusia sekarang adalah wajah tanpa makna, sosok wajah yang penuh dengan kepalsuan.Dan berangkat dari fenomena-fenomena tersebut maka dapat kita masukkan konsep "appearing" ini ke dalam dimensi cinta, dimana cinta yang hanya berfokus kepada bentuk penampilan luar sehingga mengaburkan subtansi cinta yang sebenarnya seperti cinta jenis pertama. cinta di dalam tahap ini berarti cinta yang penuh dengan topeng,atau cinta yang hanya sebagai simbol akan tetapi dibaliknya tersimpan beribu motif-motif lain.Hal ini dapat kita contohkan dalam pernikahan masyarakat barat dan para artis kita, dimana pernikahan mereka hanya berumur pendek, hal ini menurut saya terjadi dikarenakan pernikahan disini ditempatkan hanya sebagai simbol/ penampakan cinta, sedangkan dibalik pernikahan tersebut tersimpan berbagai motif lain yang mengatas namakan cinta.cinta jenis ini dapat digambarkan dalam kalimat "karena engkau cinta padaku maka turutilah semua permintaanku".
Akan bertambah parah jika model "cinta sebagai penampakan" ini melanda para kaum muda,dikarenakan yang dapat terjadi kemudian adalah cinta hanyalah sebagai selubung untuk motif-motif lainya, yang tentunya sudah umum diketahui oleh kaum muda zaman sekarang.
dan solusi yang paling tepat adalah mengembalikan bentuk cinta kepada cinta tahapan pertama, dimana cinta merupakan ruh yang universal,murni dan mendasari segala hal. tanpa kepalsuan, kepemilikan dan tindak rayu..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar