Politik di Indonesia lebih cenderung bermakna who
gets what when and how. Sehingga cara pandangan Macheavelly terhadap
politik sebagai suatau kegiatan yang menghalalkan segala cara demi suatu tujuan
atau kekuasaan benar-benar diterapkandengan baik di negeri ini. Demi kekuasaan
itulah para kandidat rela melakukan kebohongan publik. Bentuk kebohongan yang
ditawarkan oleh praktisi politik mengalami perubahan dari masa ke masa, Dan
tibalah kita sekarang kedalam era digital, dimana kebohongan-kebohongan sengaja
dikontruksi dalam bentuk digital dan virtual guna membangun suatu image citra
dari seseorang.
Baudrillard melihat kondisi citra merupakan suatu kondisi
yang menutupi realitas yang sebenarnya, Citra merupakan suatu kondisi yang dibangun
untuk menutupi realitas sesungguhnya dan kemudian menggantinya dengan realitas
palsu. Dalam tataran kesadaran, simulasi menutup kesadaran seseorang akan
realitas yang sesungguhnya kondisi ini biasa disebut dengan Hiperrealita,
dimana citra yang dikonstruksi menjadi berlebih dari citra yang sesungguhnya. Hiperealitas
politik citra akan melahirkan fenomena seolah-olah, seakan-akan dan mampu melahirkan
anggapan pada masyarakat bahwa kandidat tersebut adalah sosok pemimpin yang pro
rakyat, bekerja demi rakyat, mampu menghadirkan kesejahteraan, tegas, dan
cekatan.
Bentuk peran seolah-olah itu dikemas dengan baik melalui
media massa dan interaksi sosial yang hanya gencar dilakukan pada masa-masa
kampanye. Padahal peran seolah-olah itu dapat melahirkan kesadaran palsu dan tidak
mendidik para pemilih.
Logika yang berlaku dalam simulasi sama sekali tidak berhubungan
dengan logika realitas yang sesungguhnya sehingga dalam ruang simulasi semua
hal menjadi nyata dengan tiba-tiba, Hukum logika tidak berpengarung dalam ruang
ini. Kesadaran yang dibentuk oleh realitas semu adalah kesadaran dalam bentuk
simulasi. Pemaknaan dunia dalam era simulasi didasari realitas semu melalui citra-citra
yang dihasilkan oleh pelbagai Media informasi seperti televisi, dunia fantasi, shopping
mall menjadi model yang membangun nilai, citra diri maupun makna dalam
kehidupan sosial.
Seperti yang terjadi pada masyarakat konsumer dimana
kebutuhan alami dan kebutuhan yang diproduksi tidak dapat dibedakan lagi. Apa
yang dikonsumsi bukan lagi dibangun dari kebutuhan objek real komoditas
melainkan sistem objek yang melingkupi komoditas tersebut. Maka dapat
disimpulkan politik citra yang dihasilkan oleh media informasi merupakan bagian
dari produksi, yang kemudian dijual kepada para konsumen yakni masyarakat bukan
hanya untuk membodohi masyarakat akan citra tokoh politik yang dibangun, akan
tetapi juga untuk membuat masyarakat menyerahkan uang mereka terhadap media
guna mendapatkan informasi yang berupa citra-citra palsu.
Citra yang kemudian dikonsumsi dalam waktu yang lama akan
membentu menjadi image dan bukan tak mungkin dapat berubah menjadi prinsip
ataupun ideologi dari seseorang, Dan jika sesorang menganut suatu prinsip atau
ideologi secara buta, maka banyak sekali kita saksikan di sekitar kita saat ini
terutama menjelang pemilihan presiden 2014. Sehingga amat disayangkan jika
tedapat berbagai fenomena anarki hanya dikarenakan kesalahan persepsi dari
sekelompok golongan yang diakibatkan banyaknya mereka mengkonsumsi citra yang
palsu dan menjadikannya prinsip. Dosa yang paling besar seharusnya dilimpahkan
kepada para kadidat presiden dengan citra-citra palsu mereka, Sehebat apapun
mereka dalam memnyusun citra, tetap saja mereka berpribadian palsu, dan
secanggih apapun program mereka untuk mencerdaskan bangsa, pastilah akan selalu
menemui kegagalan, karena sejatinya penyakit kebodohan bangsa bersumber kepada
mereka sendiri.