Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Jumat, 16 Mei 2014

Suara Rakyat bukan Suara Kebenaran

Dalam pemilihan umum yang mengedepankan konsesus dalam menentukan hasil akhir, raupan suara terbanyak merupakan harga mati yang harus dicari oleh setiap kadidat presiden. Apalagi dalam prinsip demokrasi yang menyiratkan suara rakyat sebagai suara Tuhan. Dimana siapapun atau siapa saja yang dapat memperoleh suara terbanyak tentu dapat maju sebagai pemimpin bangsa, Gerak- gerik Capres dalam Pilpres 2014 semakin mengasyikkan untuk dikuti, ibarat pertandingan balap lari, setiap kadidat berlomba-lomba melakukan pendekatan terhadap rakyat dengan berbagai jenis metode pendekatan .
            Salah satu metode yang biasanya mereka gunakan ialah Kontrak Politik yang merupakan perwujudan dari Kontrak Sosial. Kontrak politik dianggap efektif untuk menunjang pemerintahan yang akan terpilih dikarenakan dalam kontrak politik rakyat mendapatkan peran aktif untuk melakukan control terhadap janji-janji pemerintahan yang sudah disepakati oleh kadidat presiden dan rakyat. Akan tetapi Kontrak politik juga bisa menjadi bumerang bagi presiden terpilih dimana ketika kebutuhan pengumpulan suara yang semakin mendesak alhasil sang kadidat tanpa berfikir panjang menyetujui segala tuntutan yang diajukan oleh rakyat tanpa mengkaji baik atau buruknya tuntutan tersebut.
            Kontrak politik sejatinya merupakan perwujudan dari kontrak sosial. Dimana kontrak politik itu sendiri merupakan bagian partikular dari kontrak sosial.Prinsip dasar dari kontrak sosial ialah manusia bertindak sebagai sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam praksisnya. Kontrak sosial merupakan pilar dari pembentuk konsep demokrasi, pada era revolusi perancis Rousseau telah menyumbangkan ide tentang kontrak sosial yang didalamnya terdapat nilai-nilai Ham dan Egaliterisme untuk mengubah sistem pemerintahan monarki menuju demokrasi, Dalam kata lain kehendah Rakyat mutlak diperlukan dalam proses demokrasi.
            Untuk mengatasi Tuntutan atau kehendak yang salah dari rakyat  maka Rousseau (1712-1777) mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought). (Jean Jacques Rousseau, “The Social Contract,” dalam Social Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.). akan tetapi sangatlah sulit dalam perkembangannya untuk mengkontrol suara ataupun kehendak rakyat, disini diperlukan kehendak rakyat yang memang benar untuk membangun kualitas kontrak sosial yang benar, bisa kita bayangkan jika dalam hal kuantitas rakyat menghendaki kehendak yang salah, lalu apakah ada suatu jaminan jika minoritas yang benar dapat didengarkan oleh telinga penguasa?. Hal ini menjadikan konsesus yang merupakan salah satu bagian penting dari kontrak sosial dapat berubah menjadi batu ganjalan bagi terbentuknya kehendak yang benar.
            Lawrence Kohlberg dalam teorinya Stage Moral Development memberikan pandangan yang berbeda, Kontarak sosial yang dimasukkan dalam tahapan ke lima dalam teori perkembangannya tidaklah dijadikan sebagai acuan tertinggi dalam kebenaran moral, kendati dalam tahap kontrak sosial ini dapat ditemukan nilai-nilai tentang Utilitarian dan HAM tetapi tidak menjadikannya sebagai titik moral tertinggi.Menurut Kohlberg titik moral tertinggi dari seseorang bukanlah suatu pengabdian terhadap konsesus ataupun mayoritas masyarakat, akan tetapi titik moral tertinggi merupakan pengabdian terhadap perwujudan dari prinsip-prinsip etika universal.
            Etika universal disini dapat berupa nilai-nilai tentang kejujuran, kebaikan dll, sangatlah riskan kiranya jika memberikan penilaian kebenaran sepenuhnya kepada masyarakat luas. Hal ini dapat juga dikarenakan relativis masyarakat dalam memandang kebenaran dan kebaikan sehingga mau tidak mau dalam menentukan kesepakatan haruslah dipilih berdasarkan kuantitas bukannya kualitas, hal inilah kiranya yang menjadi pertimbangan dari Kohlberg.

            Maka dengan demikian langkah yang paling tepat yang harus ditempuh oleh para Kadidat presiden secara ideal haruslah melihat kualitas dai tuntutan rakyat yang ditujukan terhadap mereka,Jika para kadidat presiden hanya melihat kuantitas akan suara rakyat yang kemudian dapat memenangkan mereka dalam pemilu, maka nilai Pemilihan Umum hanya akan direduksi menjadi Transaksi jual beli kursi No1 RI. Hal inilah yang harus dihindari, jangan gampang obral janji dan harapan akan tetapi dalam mengeluarkan janji atau harapan pililah janji dan harapan yang memang sesuai dan dibutuhkan oleh rakyat indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar