Dalam pemilihan umum yang mengedepankan konsesus dalam
menentukan hasil akhir, raupan suara terbanyak merupakan harga mati yang harus
dicari oleh setiap kadidat presiden. Apalagi dalam prinsip demokrasi yang
menyiratkan suara rakyat sebagai suara Tuhan. Dimana siapapun atau siapa saja
yang dapat memperoleh suara terbanyak tentu dapat maju sebagai pemimpin bangsa,
Gerak- gerik Capres dalam Pilpres 2014 semakin mengasyikkan untuk dikuti,
ibarat pertandingan balap lari, setiap kadidat berlomba-lomba melakukan
pendekatan terhadap rakyat dengan berbagai jenis metode pendekatan .
Salah satu metode yang biasanya mereka gunakan ialah
Kontrak Politik yang merupakan perwujudan dari Kontrak Sosial. Kontrak politik
dianggap efektif untuk menunjang pemerintahan yang akan terpilih dikarenakan
dalam kontrak politik rakyat mendapatkan peran aktif untuk melakukan control
terhadap janji-janji pemerintahan yang sudah disepakati oleh kadidat presiden
dan rakyat. Akan tetapi Kontrak politik juga bisa menjadi bumerang bagi
presiden terpilih dimana ketika kebutuhan pengumpulan suara yang semakin
mendesak alhasil sang kadidat tanpa berfikir panjang menyetujui segala tuntutan
yang diajukan oleh rakyat tanpa mengkaji baik atau buruknya tuntutan tersebut.
Kontrak politik sejatinya merupakan perwujudan dari
kontrak sosial. Dimana kontrak politik itu sendiri merupakan bagian partikular
dari kontrak sosial.Prinsip dasar dari kontrak sosial ialah manusia bertindak sebagai
sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan
itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda
satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain,
baik di dalam konsep maupun di dalam praksisnya. Kontrak sosial merupakan pilar
dari pembentuk konsep demokrasi, pada era revolusi perancis Rousseau telah
menyumbangkan ide tentang kontrak sosial yang didalamnya terdapat nilai-nilai Ham
dan Egaliterisme untuk mengubah sistem pemerintahan monarki menuju demokrasi,
Dalam kata lain kehendah Rakyat mutlak diperlukan dalam proses demokrasi.
Untuk mengatasi Tuntutan atau
kehendak yang salah dari rakyat maka Rousseau
(1712-1777) mengedepankan
konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya
kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus
tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’),
akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the
‘object’ sought). (Jean Jacques Rousseau, “The Social Contract,” dalam Social
Contract, London: Oxford University Press, 1960, h. 193-194.). akan tetapi
sangatlah sulit dalam perkembangannya untuk mengkontrol suara ataupun kehendak
rakyat, disini diperlukan kehendak rakyat yang memang benar untuk membangun kualitas
kontrak sosial yang benar, bisa kita bayangkan jika dalam hal kuantitas rakyat
menghendaki kehendak yang salah, lalu apakah ada suatu jaminan jika minoritas
yang benar dapat didengarkan oleh telinga penguasa?. Hal ini menjadikan
konsesus yang merupakan salah satu bagian penting dari kontrak sosial dapat
berubah menjadi batu ganjalan bagi terbentuknya kehendak yang benar.
Lawrence Kohlberg dalam teorinya Stage Moral Development
memberikan pandangan yang berbeda, Kontarak sosial yang dimasukkan dalam
tahapan ke lima dalam teori perkembangannya tidaklah dijadikan sebagai acuan
tertinggi dalam kebenaran moral, kendati dalam tahap kontrak sosial ini dapat
ditemukan nilai-nilai tentang Utilitarian dan HAM tetapi tidak menjadikannya
sebagai titik moral tertinggi.Menurut Kohlberg titik moral tertinggi dari
seseorang bukanlah suatu pengabdian terhadap konsesus ataupun mayoritas
masyarakat, akan tetapi titik moral tertinggi merupakan pengabdian terhadap perwujudan
dari prinsip-prinsip etika universal.
Etika universal disini dapat berupa nilai-nilai tentang
kejujuran, kebaikan dll, sangatlah riskan kiranya jika memberikan penilaian
kebenaran sepenuhnya kepada masyarakat luas. Hal ini dapat juga dikarenakan
relativis masyarakat dalam memandang kebenaran dan kebaikan sehingga mau tidak
mau dalam menentukan kesepakatan haruslah dipilih berdasarkan kuantitas
bukannya kualitas, hal inilah kiranya yang menjadi pertimbangan dari Kohlberg.
Maka dengan demikian langkah yang paling tepat yang harus
ditempuh oleh para Kadidat presiden secara ideal haruslah melihat kualitas dai
tuntutan rakyat yang ditujukan terhadap mereka,Jika para kadidat presiden hanya
melihat kuantitas akan suara rakyat yang kemudian dapat memenangkan mereka
dalam pemilu, maka nilai Pemilihan Umum hanya akan direduksi menjadi Transaksi
jual beli kursi No1 RI. Hal inilah yang harus dihindari, jangan gampang obral
janji dan harapan akan tetapi dalam mengeluarkan janji atau harapan pililah janji
dan harapan yang memang sesuai dan dibutuhkan oleh rakyat indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar