Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Sabtu, 17 Mei 2014

Politik Pencitraan



            Politik di Indonesia lebih cenderung bermakna who gets what when and how. Sehingga cara pandangan Macheavelly terhadap politik sebagai suatau kegiatan yang menghalalkan segala cara demi suatu tujuan atau kekuasaan benar-benar diterapkandengan baik di negeri ini. Demi kekuasaan itulah para kandidat rela melakukan kebohongan publik. Bentuk kebohongan yang ditawarkan oleh praktisi politik mengalami perubahan dari masa ke masa, Dan tibalah kita sekarang kedalam era digital, dimana kebohongan-kebohongan sengaja dikontruksi dalam bentuk digital dan virtual guna membangun suatu image citra dari seseorang.
            Baudrillard melihat kondisi citra merupakan suatu kondisi yang menutupi realitas yang sebenarnya, Citra merupakan suatu kondisi yang dibangun untuk menutupi realitas sesungguhnya dan kemudian menggantinya dengan realitas palsu. Dalam tataran kesadaran, simulasi menutup kesadaran seseorang akan realitas yang sesungguhnya kondisi ini biasa disebut dengan Hiperrealita, dimana citra yang dikonstruksi menjadi berlebih dari citra yang sesungguhnya. Hiperealitas politik citra akan melahirkan fenomena seolah-olah, seakan-akan dan mampu melahirkan anggapan pada masyarakat bahwa kandidat tersebut adalah sosok pemimpin yang pro rakyat, bekerja demi rakyat, mampu menghadirkan kesejahteraan, tegas, dan cekatan.
            Bentuk peran seolah-olah itu dikemas dengan baik melalui media massa dan interaksi sosial yang hanya gencar dilakukan pada masa-masa kampanye. Padahal peran seolah-olah itu dapat melahirkan kesadaran palsu dan tidak mendidik para pemilih.
            Logika yang berlaku dalam simulasi sama sekali tidak berhubungan dengan logika realitas yang sesungguhnya sehingga dalam ruang simulasi semua hal menjadi nyata dengan tiba-tiba, Hukum logika tidak berpengarung dalam ruang ini. Kesadaran yang dibentuk oleh realitas semu adalah kesadaran dalam bentuk simulasi. Pemaknaan dunia dalam era simulasi didasari realitas semu melalui citra-citra yang dihasilkan oleh pelbagai Media informasi seperti televisi, dunia fantasi, shopping mall menjadi model yang membangun nilai, citra diri maupun makna dalam kehidupan sosial.
            Seperti yang terjadi pada masyarakat konsumer dimana kebutuhan alami dan kebutuhan yang diproduksi tidak dapat dibedakan lagi. Apa yang dikonsumsi bukan lagi dibangun dari kebutuhan objek real komoditas melainkan sistem objek yang melingkupi komoditas tersebut. Maka dapat disimpulkan politik citra yang dihasilkan oleh media informasi merupakan bagian dari produksi, yang kemudian dijual kepada para konsumen yakni masyarakat bukan hanya untuk membodohi masyarakat akan citra tokoh politik yang dibangun, akan tetapi juga untuk membuat masyarakat menyerahkan uang mereka terhadap media guna mendapatkan informasi yang berupa citra-citra palsu.

            Citra yang kemudian dikonsumsi dalam waktu yang lama akan membentu menjadi image dan bukan tak mungkin dapat berubah menjadi prinsip ataupun ideologi dari seseorang, Dan jika sesorang menganut suatu prinsip atau ideologi secara buta, maka banyak sekali kita saksikan di sekitar kita saat ini terutama menjelang pemilihan presiden 2014. Sehingga amat disayangkan jika tedapat berbagai fenomena anarki hanya dikarenakan kesalahan persepsi dari sekelompok golongan yang diakibatkan banyaknya mereka mengkonsumsi citra yang palsu dan menjadikannya prinsip. Dosa yang paling besar seharusnya dilimpahkan kepada para kadidat presiden dengan citra-citra palsu mereka, Sehebat apapun mereka dalam memnyusun citra, tetap saja mereka berpribadian palsu, dan secanggih apapun program mereka untuk mencerdaskan bangsa, pastilah akan selalu menemui kegagalan, karena sejatinya penyakit kebodohan bangsa bersumber kepada mereka sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar