Hukum merupakan suatu produk yang digunakan untuk dapat menciptakan suatu
keadilan, itulah inti dari tujuan diciptakan hukum itu sendiri, keadilan adalah
ruh yang menjiwai hukum dan keadilan inilah yang dicita-citakan oleh seluruh
lapisan masyarakat dalam suatu negara. Akan tetapi hukum pada dasarnya juga
merupakan suatu konsep yang terus berkembang. Dalam teori hukum alam dikatakan
bahwa hukum berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.
Para pemikir hukum alam berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai
esensial (essential value) dari hukum, bahkan keduanya sering diidentikkan
sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan
dalam dirinya, karenanya hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk
menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa
keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara.
Lalu berkembanglah aliran positifisme
yang dipelopori oleh Auguste Comte (1798–1857)
yang kemudian melebur dalam ilmu hukum dan menghasilkan Hukum positif. Ialah Jhon
Austin yang kemudian meneruskan gagasan dari Comte ini ke dalam ranah hukum, dengan
menggabungkan antara ilmu positif dan ilmu hukum maka lahirlah Hukum positif.
Jhon Austin (1801-1833) mengartikan
hukum sebagai (perintah dari pembentuk undang-undang atau
penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan
tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem
yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Artinya peraturan dapat tercerminkan
dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma
sosial, politik dan moral. Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan
(didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk), hanya didasarkan
atas kekuasaan yang lebih tinggi. Ajaran-ajaran Austin sama sekali tidak
menyangkut kebaikan atau keburukan-keburukan, oleh karena penilaian tersebut
dianggapnya sebagai persolan yang berbeda diluar bidang hukum. Walaupun Austin
mengakui adanya hukum moral atau hukum alam yang mempengaruhi warga-warga
masyarakat, akan tetapi hal itu secara yuridis tidak penting bagi hukum.
Didalam hukum positif inilah dapat
kita temukan adanya pemisahan antara hukum dan keadilan, jika menurut teori
hukum alam mengatakan bahwa keadilan dan hukum merupakan suatu kesatuan yang
tak terpisahkan, hal ini sangat bertolak belakang dengan hukum positif yang
menjelaskan bahwa hukum merupakan suatu perintah dari pemegang kekuasaan
tertinggi dan hukum itulah yang menentukan keadilan, bukan keadilan yang
menentukan hukum. Dan dewasa ini di era modern, hukum positif paling banyak
dianut sebagai sistem hukum suatu negara.
Maka tidaklah janggal kiranya jika
hukum yang berjalan tak mampu menyentuh tataran keadilan, hal ini tidak lain ialah
dikarenakan pada level grass root yang
menjadi landasan dari hukum didasari oleh penafsiran hukum positif terhadap
keadilan. Keseimbangan ialah kunci untuk menjadikan hukum kembali efektif
sebagai cermin dari keadilan, baik hukum alam dan hukum positif seharusnya
mendapatkan porsi yang proporsial dalam membentuk hukum di Indonesia, Pancasila
yang kemudian direpresentasikan oleh sila kelima yakni tentang keadilan sosial
sudah layaknya menjadi wadah yang pas bagi perpaduan antara hukum positif dan
hukum alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar