Abad ke 18
dikenal sebagai zaman pencerahan (Aufklarung), satu zaman yang memunculkan salah
satu produk terbaik keilmuan Jerman yakni Kant (1724-1804). Alkisah ketika keilmuan Eropa masih
dibayangi oleh pengetahuan dogmatis agama muncul beberapa gerakan untuk menduniawikan ajaran-ajaran agama guna
membangkitkan kepercayaan kepada pemikiran dan ideologi. Disinilah awal
bermulanya abad pencerahan yang ditandai dengan kepercayaan yang kokoh terhadap
rasionalitas.
Kant merupakan anak zaman dari abad pencerahan, Kant merupakan pelopor bagi mazhab kritis, yang digunakan untuk mengkuliti rasio dan melakukan penyelidikan mendalam akan batas- batas rasio manusia. Selanjutnya Kant membagi rasio atau akal menjadi dua, yakni akal teoritis (rasio murni) dan akal praktis (rasio praktis). Akal teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan tentang epistemologisnya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan sesuatu dan berbagai persolan tentang etikanya. Rasio praktis bagi Kant bersifat subjektif sehingga bisa juga kemudian disebut sebagai rasio subjektif hal ini dikuatkan oleh konsep Kant tentang maxim (prinsip subjektif). Maxim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan konkret. Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret.
Dengan mengacu pada konsep maxim, Kant seakan ingin menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kebebasan (otonom) dalam menentukan sikap dan tindakan yang bersumber dari penalaran subjektifnya. Akan tetapi kemudian hal tersebut dirasa tidak cukup bagi Kant, untuk mencapai satu tindakan yang ultimate diperlukan syarat lain guna menyempurnakan tindakan tersebut, maka kemudian dalam konsep imperatif kategoris menurut Kant perlu diadakan penguniversialan maxim-maxim yang bersifat subjektif, sehingga maxim-maxim tersebut akan menjadi hukum universal dan dapat diterima oleh masyarakat umum. Hal ini sesuai dengan rumusan Kant dalam imperatif kategoris, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga maxim kehendakmu kiranya dapat berlaku setiap saat sekaligus dapat diterapkan sebagai undang-undang yang bersifat universal”.
Masalah kemudian berkembang, Dimana instrumen untuk menguniversialkan maxim-maxim ini mengalami jalan buntu. Kemunduran dari rasio praktis (yang menjadi dasar dari maxim). Hal ini kemudian ditengarai menjadi penyebab utamanya, ialah Jurgen Habermas filsuf abad 20 yang mengkritisi rasio praktis dengan menyebutkan bahwa rasio praktis ala Kant berbeda dengan konsep rasio praktis sebelum Kant semisal Aristoteles. Dalam Filsafat Yunani klasik rasio praktis memiliki hubungan internal dengan masyarakat kultural semisal warga polis, warga polis di Yunani klasik mencoba merumuskan bersama setiap kebijakan politik guna mencapai konsensus, di sini terlihat peran rasio praktis dalam hal perumusan kebijakan politik tidak terlepas dari konteks komunitas guna mencapai konsensus. Hal yang berbeda terlihat dari konsep rasio praktis Kant yang melucuti perlengkapan sosial sedemikian rupa, sehingga rasio praktis berubah menjadi subjektif belaka.
Habermas menambahkan konsep rasio praktis ala Kant tidaklah sesuai digunakan dalam alam demokrasi dikarenakan konsep tersebut merupakan bentuk dialog monologal bahkan bersifat totaliter yang berlawanan dengan alam egaliter. Guna mengatasi hal tersebut, sebagai jembatan antara konsep maxim dan universalitas atau rasio praktis (subjektif) menuju rasio intersubjektif maka dibutuhkan komunikasi yang bersifat diskursif guna mencapai konsensus. Komunikasi diskursif menurut habermas merupakan jawaban untuk menjembatani antara maxsim menuju universalitas, konsensus merupakan satu bentuk lain dari universalitas, Dimana dalam komunikasi diskursif ketika para pelaku mencapai sebuah konsensus berarti sama halnya dengan tercapainya universalitas antara maxim-maxim yang berkomunikasi secara intersubjektif.
Komunikasi bagi habermas menjadi sebuah solusi ketika pertentangan antar subjek-subjek tidak terelakkan, kepahaman (Konsesus) menjadi syarat bagi terciptanya pemahaman sehingga guna mencapai imperatif kategoris ala Kant tetap diperlukan bagian yang penting guna mengisinya yakni komunikasi diskursif. Pertautan konsep antara Kant dan habermas bukanlah hanya sebatas kritik habermas kepada Kant, akan tetapi merupakan satu usaha untuk membangun imperatif kategoris dengan komunikasi diskursif sebagai pelengkap kepingannya.
Kant merupakan anak zaman dari abad pencerahan, Kant merupakan pelopor bagi mazhab kritis, yang digunakan untuk mengkuliti rasio dan melakukan penyelidikan mendalam akan batas- batas rasio manusia. Selanjutnya Kant membagi rasio atau akal menjadi dua, yakni akal teoritis (rasio murni) dan akal praktis (rasio praktis). Akal teoritis membahas persoalan ada dan tiada, pengertian, dan berbagai persoalan tentang epistemologisnya. Sedangkan akal praktis membahas persoalan suatu tindakan, keharusan untuk melakukan sesuatu atau ketidakharusan melakukan sesuatu dan berbagai persolan tentang etikanya. Rasio praktis bagi Kant bersifat subjektif sehingga bisa juga kemudian disebut sebagai rasio subjektif hal ini dikuatkan oleh konsep Kant tentang maxim (prinsip subjektif). Maxim adalah prinsip subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakan konkret. Maxim bukanlah segala macam peraturan atau pertimbangan, ia adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret.
Dengan mengacu pada konsep maxim, Kant seakan ingin menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kebebasan (otonom) dalam menentukan sikap dan tindakan yang bersumber dari penalaran subjektifnya. Akan tetapi kemudian hal tersebut dirasa tidak cukup bagi Kant, untuk mencapai satu tindakan yang ultimate diperlukan syarat lain guna menyempurnakan tindakan tersebut, maka kemudian dalam konsep imperatif kategoris menurut Kant perlu diadakan penguniversialan maxim-maxim yang bersifat subjektif, sehingga maxim-maxim tersebut akan menjadi hukum universal dan dapat diterima oleh masyarakat umum. Hal ini sesuai dengan rumusan Kant dalam imperatif kategoris, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga maxim kehendakmu kiranya dapat berlaku setiap saat sekaligus dapat diterapkan sebagai undang-undang yang bersifat universal”.
Masalah kemudian berkembang, Dimana instrumen untuk menguniversialkan maxim-maxim ini mengalami jalan buntu. Kemunduran dari rasio praktis (yang menjadi dasar dari maxim). Hal ini kemudian ditengarai menjadi penyebab utamanya, ialah Jurgen Habermas filsuf abad 20 yang mengkritisi rasio praktis dengan menyebutkan bahwa rasio praktis ala Kant berbeda dengan konsep rasio praktis sebelum Kant semisal Aristoteles. Dalam Filsafat Yunani klasik rasio praktis memiliki hubungan internal dengan masyarakat kultural semisal warga polis, warga polis di Yunani klasik mencoba merumuskan bersama setiap kebijakan politik guna mencapai konsensus, di sini terlihat peran rasio praktis dalam hal perumusan kebijakan politik tidak terlepas dari konteks komunitas guna mencapai konsensus. Hal yang berbeda terlihat dari konsep rasio praktis Kant yang melucuti perlengkapan sosial sedemikian rupa, sehingga rasio praktis berubah menjadi subjektif belaka.
Habermas menambahkan konsep rasio praktis ala Kant tidaklah sesuai digunakan dalam alam demokrasi dikarenakan konsep tersebut merupakan bentuk dialog monologal bahkan bersifat totaliter yang berlawanan dengan alam egaliter. Guna mengatasi hal tersebut, sebagai jembatan antara konsep maxim dan universalitas atau rasio praktis (subjektif) menuju rasio intersubjektif maka dibutuhkan komunikasi yang bersifat diskursif guna mencapai konsensus. Komunikasi diskursif menurut habermas merupakan jawaban untuk menjembatani antara maxsim menuju universalitas, konsensus merupakan satu bentuk lain dari universalitas, Dimana dalam komunikasi diskursif ketika para pelaku mencapai sebuah konsensus berarti sama halnya dengan tercapainya universalitas antara maxim-maxim yang berkomunikasi secara intersubjektif.
Komunikasi bagi habermas menjadi sebuah solusi ketika pertentangan antar subjek-subjek tidak terelakkan, kepahaman (Konsesus) menjadi syarat bagi terciptanya pemahaman sehingga guna mencapai imperatif kategoris ala Kant tetap diperlukan bagian yang penting guna mengisinya yakni komunikasi diskursif. Pertautan konsep antara Kant dan habermas bukanlah hanya sebatas kritik habermas kepada Kant, akan tetapi merupakan satu usaha untuk membangun imperatif kategoris dengan komunikasi diskursif sebagai pelengkap kepingannya.