Mencoba menjawab request dari
teman saya, mahasiswa sarjana peternakan Universitas Brawijaya,, lelaki yang
tertarik untuk memahami hakikat-hakikat kehidupan (lelaki hebat haha) “Ikhlas”
itulah kata kunci yang ia lontarkan kepada saya,, maka sayapun terglitik untuk
membahasnya... Melanjutkan pembahasan tentang artikel kemarin, yang sedikitnya
menyinggung soal peran Ego atau keakuan,, Terbayang-bayang siang dan malam
diriku memikirkannya (hahaha ), “aku” hal yang bersifat mendasar yang perlu
kita pahami lebih jauh lagi akan hakikat-hakikatnya, karena “aku” memiliki
banyak cabang yang akan timbul disebabkan oleh kehadirannya,,
Ikhlas adalah mengalahkan
kepentingan ego atau keakuan kita sendiri (menurut saya), dan sebelum kita
menyentuh ikhlas,kita harus membahas tentang ego atau keakuan terlebih dahulu,,
Baiklah mari kita mulai saja,, “Aku” adalah suatu bentuk pengakuan akan
kehadiran diri sendiri , ada yang menyebutkan bahwa “Aku” itu muncul dari fikiran, menyunting
kata dari Rene Descartes “Aku ada karena Aku berfikir” seperti dalam pandangan
filsafat rasionalis,, akn tetapi hal ini kurang tepat adanya menurut saya untuk
menjelaskan esensi “Aku” secara menyeluruh, bagi saja jika kita mengacu dari
pandangan Rasionalis dengan “aku” disini diciptakan dari fikiran kita sendiri
maka hal ini tentu akn bertabrakan dengan persepsi-persepsi diluar kita dimana
“aku” kita tak akn selalu sama dengan persepsi “Aku” kita dari luar atau dari
persepsi Sudut pandang orang lain, maka berkaca dari hal ini, “Aku” akan
menjadi suatu hal yang bersifat relatif jika ditinjau dari sudut Eksternal, hal
ini juga hampir sama jika kita tinjau secara Internal, “aku” akan senantiasa
berubah-ubah menurut pola fikir kita, dan sudah kita ketahui bersama bahwa pola
fikir atau cara sudut pandang seseorang senantiasa mengalami perubahan dari
waktu ke waktu, maka yang terjadi adalah wujud “aku” yang berubah-ubah tanpa
bisa diartikan dengan jelas dan tetap,,
"Aku" menurut saya adalah identik
dengan nafs (jiwa) kita disini nafs dalam bahasa arab bisa diartikan jiwa dan
bisa juga diartikan Nafsu (keinginan), “aku” tanpa kita diajari atau diberitahu
oleh siapapun kita sudah mengenalnya, saya yakin orang tua kita tak pernah
mengajari kita tentang “Aku” karena “aku” sudah otomatis muncul saat kita ada
atau tercipta saya ambil contoh ketika kita bangun tidur atau dalam keadaan
bingung yang kita fikirkan pertama kali adalah “aku ada dimana??”, atau mungkin
“aku lapar, aku ingin makan sekarang”
atau “aku masih mengantuk aku ingin tidur lagi” atau “aku harus
mengerjakan tugas maka aku harus bangun” kata “aku” selalu muncul pertama kali
saat kita berada dalam kondisi sadar, disini dapat saya simpulkan bahwa “aku”
itu ada saat kita diciptakan,, menurut hemat saya "aku" adalah naluri.. setiap mahluk
yang memiliki naluri maka dia mempunyai keakuan. Naluri ini murni pemberian
dari pencipta, jadi “aku” itu muncul bukan dikarenakan akal atau proses
berfikir, tapi “aku” murni muncul sebagai naluri dasar manusia, kita ambil
contoh “bayi yang menangis”, bayi tidak
memiliki akal yang sempurna, akan tetapi dia sudah bisa merasakan penolakan
dari keinginannya yang ia wujudkan dengan menangis, dengan menangis si bayi
ingin memberitahu bahwa dia mengalami hal yang tak sesuai dengan keinginannya.
Jika si bayi sudah merasakan seperti itu maka ini menandakan bahwa si bayi
sudah memiliki kepentingan pribadi, dengan kata lain si bayi sudah memiliki
keakuan.
Lalu dari aku ini muncul berbagai
macam suasana hati, jika ada sesuatu yang menguntungkan kita maka suasana kegembiraan
akan terjadi dan jika ada sesuatu yang merugikan kita maka suasana kesedihan
akan datang,, keakuan akan menjadi sumber malapetaka jika kita masih terjebak
secara terus menerus dalam keakuan tersebut, dengan berfikir demikian maka
secara terus menerus kita hanya akan masuk dalam dunia untung rugi, baik dalam
hal karir, keluarga, persahabatan, bahkan dalam dunia keagamaan. Segala aspek
dalam kehidupan hanya dinilai dari segi untung rugi.inilah kesalahan penempatan
posisi menurut saya, jika pradigma
seperti itu masih terus kita gunakan maka tidak mungkin akan terjadi suatu
keadaan ikhlas dalam diri kita..
Lalu apakah hubungan antara
keakuan dengan Ikhlas,, seseorang menjadi sulit untuk bersikap ikhlas
dikarenakan ketika orang tersebut harus melawan naluri dasarnya sendiri,
memberi atau berbuat tanpa menempelkan keakuan diri sangatlah sulit, hal ini
dikarenakan kita sudah terbiasa
melakukan sesuatu yang motifnya untuk kepentingan kita semata, kita makan agar
kepentingan hidup kita tetap berlangsung dan tentu saja kita tak akan makan
untuk kepentingan orang lain, karena terbiasa berfikiran untuk menyenagkan atau
memenuhi kepentingan diri sendiri maka tentu akan sangat sulit untuk melakukan
suatu aktivitas tanpa embel-embel kepentingan diri sendiri. Maka dari itu
dibutuhkan pelenyapan Ego atau keakuan, yakni dengan cara menisbatkan segala
sesuatu kepada Tuhan tanpa menyisakan sedikit pun untuk kepentingan sendiri
Ada sedikit pernyataan menarik,,
yaitu “aku” jika digabungkan dengan Objek maka akan membentuk suatu
kepemilikan, contoh aku + sepeda = Sepedaku, maka objek yang berupa sepeda menjadi milik kita jika keakuan kita
menempel kepada sepeda tersebut, setiap ojek yang kita tempeli “aku” maka
secara otomatis akan menjadi milik kita,masalahnya disini objek-objek yang
terlanjur kita tempeli aku tersebut
ternyata membentu suatu ikatan dengan diri kita ikatan tersebut terjadi karena
kepemilikan tersebut, Sepeda akan bisa mengobrak abrik hati kita jika sepeda
tersebut rusak atau hilang hal ini dikarenakan ada ikatan antara kita dengan
speda itu, dan ikatan tersebut terjadi karena kepemilikan dan kepemilikan
terjadi karena pengakuan..
Penderitaan ini hanya akan bisa
hilang jikalau kita berhenti menampilkan sikap keakuaan kita,dengan menisbatkan segala sesuati kepada Tuhan,
contoh: “Itu bukan sepedaku akan tetapi sepeda milik Tuhan” tentu tanpa ada unsur kepemilikan ego di
sini akan menghilangkan beban dan akan
membuat hati kita merdeka tanpa terikat pada sesuatu dan hal ini bisa
menyebabkan lapangnya hati kita untuk menerima sesuatu yang tidak kita inginkan
terjadi,, jadi menurut saya keakuan dan kepemilikan lah sumber dari penderitaan
yang menimpa kita. Selama kita mengaku bahwa hati yang sakit itu adalah milik
kita maka kita tak akan pernah ikhlas dalam menerima kondisi yang datang pada
hati kita...
(Setidaknya
inillah menurut saya,Mohon maaf bila terdapat banyak kekurangan)
Wah.. bagus sekali, membuat sya berpikir
BalasHapus