Ah,,Tertawa lagi kami,, Saat berkumpul bersama teman-teman dalam kamar ku (kamar 4),, Disini ada banyak obrolan terjadi, Mulai dari nostalgia, Mengarang masa depan sampai Menjelajahi samudra keilmuan,, haha kami tertawa lagi..Senang rasanya berada dalam pesantren, Jujur terkadang kami sangat liar dalam bertingkah, But inilah gaya hidup kami, Dan ketika waktunya tiba maka kami akan segera berangkat untuk ngaji bersama-sama (sing ra boloz hahaha).
Tergelitik saya ketika mengamati kejadian ini, dalam peristiwa ini kesenangan timbul dari pertemanan kami, dan tentunya pertemanan atau persahabatan kami adalah murni pemberian dari Tuhan, Jika saya coba mengambil kesimpulan, kesenangan itu kadang terjadi dikarenakan adanya pemberian, dimana kita diberikan berbagai nikmat dalam hidup, seperty sehat, rezeki dll, Maka setiap orang secara normal pazti akan bahagia apabila menerima suatu pemberian tersebut.
Inilah yang ingin saya soroti saat ini, jika ada pemberian pazti ada pencegahan (penolakan atau, penagguhan),Dan dalam hal ini saya pernah mendengar tentang dua konsep yaitu al man’u dan al atho’, Al man’u adalah penolakan atau pencegahan sedangkan Al atho’ adalah pemberian, Kemudian jika pemberian dapat menimbulkan kebahagiaan maka akan terjadi sebaliknya pada pencegahan yang akan menimbulkan kesedihan atau kepedihan, Dalam hal ini ada sebuah kutipan dari Kitab Hikam “Penolakan Allah membuatmu terasa pedih,hal itu karena kesalahpahamanmu dalam memandang penolakan”.
Mustahil dalam menjalani hidup tak pernah kita mengalami sebuah penolakan atau pencegahan, dan tentu saja hal itu akan menghasilan suatu kesedihan, dan jika kita berkaca dari kalimat di dalam Kitab Hikam ,“Penolakan dari Tuhan akan membuat kita terasa pedih”, Dan hal ini wajar menurut saya, Sesuatu yang tak sesuai dengan keinginan kita tentu saja membuat suatu kepedihan dalam diri kita, hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari kita, dimana kepedihan akan datang jika kita mendapatkan sesuatu yang tak sesuai dengan keinginan kita, suatu program, rencana ,cita-cita dan harapan akan segera kandas jika datang Al man’u atau penolakan, bahkan seakan usaha yang telah kita lakukan akan terasa sia-sia jika kegagalan telah datang dan tentunya kegagalan ini juga bersumber dari penolakan Tuhan.
Lalu mari kita sambung dengan kalimat seterusnya dalam kitab Hikam “hal itu terjadi karena kesalahpahamanmu dalam memandang penolakan”, Ada hal penting disini yang coba saya cermati yaitu masalah kesalahpahaman,kesalahpahaman adalah kesalahan dalam memahami dan tentunya kesalahan ini terjadi dikarenakan tak adanya pengetahuan yang benar dalam memandang sesuatu, tak ada data yang lengkap yang diterima oleh otak kita dalam memahami peristiwa kehidupan, tak lengkapnya data ini disebabkan juga oleh keterbatasan ilmu kita, bagaimana kita dapat mengaku memahami suatu kejadian, yang dimana kejadian itu diciptkan oleh sang Pencipta yang memiliki ilmu tanpa batas, sedangkan kita yang hanya mengandalkan otak yang terbatas mengaku telah berhasil memahami kejadian yang kita alami, Sungguh menurut hemat saya pemahaman tersebut masih perlu dipertanyakan lagi.
Kemudian Al man’u akan menghasilkan suatu kepedihan jika kita tak memahami kebijakan dibalik penolakan yang kita terima, malah bagi para penempuh jalan sufistik akan lebih menyukai suasana Al Man’u ketimbang suasana Al Atho’ karena bagaimanapun juga, untuk mencapai suatu kedekatan dengan Tuhan, Jarak harus dihilangkan dan dengan adanya Al Atho’ atau pemberian maka akan terdapat sebuah jarak antara hamba dan Tuhannya dimana jarak itu adalah “pemberian” itu sendiri, Selain itu dengan adanya pemberian maka pemberian itu secara tak langsung akan menjadi perantara antara hamba dan Tuhannya, dan tentu saja seorang hamba yang mencari kedekatan dengan Tuhan tak ingin ada sesuatu yang menjadi perantara dia dan Tuhannya , Mereka ingin suatu hubungan langsung dengan Tuhannya tanpa perantara apapun, Hal ini tentu saja berbeda dengan Al man’u, Karena penolakan adalah suasana yang langsung dari Tuhan, Kenapa dikatakan langsung??, dikarenakan penolakan itu turun tanpa perantara baik itu perantara objek atau subjek, selain berfungsi sebagai penghilang jarak Al man’u juga berfungsi sebagai pelebur Ego atau Nafsu. Ego yang kita miliki selalu memiliki keinginan dan keinginan itu tentunya tak pernah kita tahu akan dampak positive dan negativnya bagi kita, Tak adanya data yang lengkap kembali menjadi penyebab yang menyebabkan ketidaktahuan atas dampak keinginan kita, atas dasar inilah seharusnya kita tak melonjak untuk memprotes Tuhan atas Al man’u yang menimpa kita.
Keinginan adalah suatu tanda bahwa seseorang itu masih memiliki ego karena ego timbul dari keinginan atau sebaliknya (hal itu belum saya teliti hahah) tapi intinya antara keinginan dan ego memiliki hubungan timbal balik, dan tentu saja egolah yang membuat seseorang itu menjadi susah atau bahagia, jika keinginan kita terpenuhi maka kita bahagia dan jika keinginan kita tak terpenuhi maka kita menjadi sedih hal itu membuktikan orang tersebut masih memiliki ego, ego akan hilang dengan meleburnya keinginan dan jika keinginan telah lebur maka kesedihan dan kebahagiaan tak lagi kita rasakan, dalam Tasawuf inilah yang disebut keadaan Fana’ dimana kebahagiaan dan kesedihan tak lagi kita rasakan yang ditandai dengan leburnya ego kita.
Mari kita ambil contoh,”Iqbal (nama teman saya hahaha) berkeinginan untuk sholat berjamaah di masjid, kemudiah keinginan itu terwujud dan akhirnya dia bisa melakukan shalat berjamaah di masjid, dan Iqbal pun senang” , Kemudian contoh kedua “Iqbal berkeinginan untuk shalat berjamaah di masjid akan tetapi Iqbal ketiduran dan dia tidak bisa melakukan sholat berjamaah di masjid maka Iqbal pun menjadi sedih”. Nah.. dari contoh diatas mari kita bahas bersama-sama, Suasana senang yang dialami oleh Iqbal tetap boleh dilakukan oleh Iqbal selama dalam suasana itu dia tetap menyadari bahwa dia bisa melakukan amal berupa berjamaah di masjid itu murni Al Atho’ dari Tuhan, jadi ada unsur pelepasan ego disini yaitu dalam bentuk pelepasan keakuan bahwa “Iqbal bisa sholat berjamaah di masjid karena dia sendiri”, Dan tentunya keakuan itu terjadi dikarenakan ego dan ego disini bermula dari keinginan, jadi intinya setiap amal yang masih memiliki ego harus disucikan terlebih dahulu egonya sebelum bisa menjadi amal yang sempurna, selama amal itu masih terkandung unsur ego atau keakuan maka amal itu akan cacat, dan tentu saja jika amal itu sudah cacat maka kegembiraan Iqbal menjadi kegembiraan yang salah. Jadi pada contoh pertama ini ketika datangnya Al Atho’ maka diperlukan suatu perjuangan lagi agar kita tak terpeleset dalam jurang kesalahan
Kemudian kita ambil contoh kedua,Didalam contoh ini Iqbal digambarkan sedih karena ia tak bisa melakukan sholat berjamaah. Sekali lagi perlu kita ketahui bahwa bisa melakukan sholat berjamaah adalah suatu Atho’ atau pemberian, maka jika iqbal tidak bisa melakukan sholat berjamaah berarti dia mengalami sebuah Man’u atau penolakan dari Tuhan, yang saya soroti adalah ketika iqbal bersedih karena tak bisa melakukan sholat berjamaah, seharusnya dalam hal ini iqbal tidak perlu bersedih karena jika ia memahami kebijakan dibalik dia tidak bisa melakukan sholat berjamaah sesungguhnya terdapat berbagai macam hikmah, jika kita analisis lagi ketidakbisaan Iqbal untuk sholat berjamaah adalah murni suatu penolakan dari Tuhan, Dan penolakan ini meleburkan sikap ego dari Iqbal, dengan tidak bisa melakukan sholat berjamaah maka keakuan iqbal terhadap amal akan hilang, karena iqbal tidak melakukan amal, dan yang kedua bagaimanapun juga penolakan dari Tuhan terhadap Iqbal untuk tidak bisa sholat berjamaah adalah murni kehendak Tuhan bukan kehendak Iqbal, jadi sudah tentu lebih mulia kehendak dari Tuhan dari pada kehendak Iqbal berarti dalam kondisi ini Iqbal telah mendapatkan pilihan dari kehendak Tuhan, Dan tentunya sesuatu yang telah dipilihkan Tuhan adalah pilhan paling terbaik. Lalu yang kedua jika kita lihat dari contoh diatas keegoan Iqbal sirna dan tidak berperan sama sekali dikarenakan keinginannya tak terwujud maka jika Iqbal mau menerima kejadian itu dengan tidak bersedih maka amal iqbal yang berupa menerima penolakan tersebut akan menjadi amal yang sempurna,atau amal yang dilakukan tanpa adanya ego sehingga murni dari tuhan,dan tentunya hanya dengan bermodal menerima kejadian tersebut amal kita sudah menjadi sempurna tanpa harus susah-susah berjuang terlebih dahulu untuk menghilangkan ego sendiri seperti contoh pertama.
Inilah menurut saya makna dari kutipan kalimat dalam Kitab Hikam pada awal pembahasan kita, dimana seandainya kita mau untuk lebih memahami peristiwa penolakan yang kita hadapi maka sesungguhnya kesedihan itu tak perlu terjadi, dua contoh diatas adalah contoh dalam hal amal ketaatan dan jika kita ambil contoh dari hal lain selain amal ketaatan teori ini tetap bisa kita gunakan, misalnya kita ambil contoh penolakan saat cita-cita kita gagal, atau saat kita dalam keaadan drop, atau peristiwa-peristiwa lain yang membuat kita bersedih, yang menjadi penekanan bagi kita adalah “kita harus menerima setiap hal yang datang kepada kita baik hal itu sesuai dengan keinginan kita atau hal itu tak sesuai dengan keinginan kita karena pada hakikatnya setiap yang datang pada kita adalah Pemberian”, so kembali pada konsep diatas jika yang datang Al atho’ maka tak ada alasan untuk bersedih, jadi tetaplah bergembira….
(Setidaknya ini menurut saya, mohon maaf atas kekurangannya)
Tergelitik saya ketika mengamati kejadian ini, dalam peristiwa ini kesenangan timbul dari pertemanan kami, dan tentunya pertemanan atau persahabatan kami adalah murni pemberian dari Tuhan, Jika saya coba mengambil kesimpulan, kesenangan itu kadang terjadi dikarenakan adanya pemberian, dimana kita diberikan berbagai nikmat dalam hidup, seperty sehat, rezeki dll, Maka setiap orang secara normal pazti akan bahagia apabila menerima suatu pemberian tersebut.
Inilah yang ingin saya soroti saat ini, jika ada pemberian pazti ada pencegahan (penolakan atau, penagguhan),Dan dalam hal ini saya pernah mendengar tentang dua konsep yaitu al man’u dan al atho’, Al man’u adalah penolakan atau pencegahan sedangkan Al atho’ adalah pemberian, Kemudian jika pemberian dapat menimbulkan kebahagiaan maka akan terjadi sebaliknya pada pencegahan yang akan menimbulkan kesedihan atau kepedihan, Dalam hal ini ada sebuah kutipan dari Kitab Hikam “Penolakan Allah membuatmu terasa pedih,hal itu karena kesalahpahamanmu dalam memandang penolakan”.
Mustahil dalam menjalani hidup tak pernah kita mengalami sebuah penolakan atau pencegahan, dan tentu saja hal itu akan menghasilan suatu kesedihan, dan jika kita berkaca dari kalimat di dalam Kitab Hikam ,“Penolakan dari Tuhan akan membuat kita terasa pedih”, Dan hal ini wajar menurut saya, Sesuatu yang tak sesuai dengan keinginan kita tentu saja membuat suatu kepedihan dalam diri kita, hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari kita, dimana kepedihan akan datang jika kita mendapatkan sesuatu yang tak sesuai dengan keinginan kita, suatu program, rencana ,cita-cita dan harapan akan segera kandas jika datang Al man’u atau penolakan, bahkan seakan usaha yang telah kita lakukan akan terasa sia-sia jika kegagalan telah datang dan tentunya kegagalan ini juga bersumber dari penolakan Tuhan.
Lalu mari kita sambung dengan kalimat seterusnya dalam kitab Hikam “hal itu terjadi karena kesalahpahamanmu dalam memandang penolakan”, Ada hal penting disini yang coba saya cermati yaitu masalah kesalahpahaman,kesalahpahaman adalah kesalahan dalam memahami dan tentunya kesalahan ini terjadi dikarenakan tak adanya pengetahuan yang benar dalam memandang sesuatu, tak ada data yang lengkap yang diterima oleh otak kita dalam memahami peristiwa kehidupan, tak lengkapnya data ini disebabkan juga oleh keterbatasan ilmu kita, bagaimana kita dapat mengaku memahami suatu kejadian, yang dimana kejadian itu diciptkan oleh sang Pencipta yang memiliki ilmu tanpa batas, sedangkan kita yang hanya mengandalkan otak yang terbatas mengaku telah berhasil memahami kejadian yang kita alami, Sungguh menurut hemat saya pemahaman tersebut masih perlu dipertanyakan lagi.
Kemudian Al man’u akan menghasilkan suatu kepedihan jika kita tak memahami kebijakan dibalik penolakan yang kita terima, malah bagi para penempuh jalan sufistik akan lebih menyukai suasana Al Man’u ketimbang suasana Al Atho’ karena bagaimanapun juga, untuk mencapai suatu kedekatan dengan Tuhan, Jarak harus dihilangkan dan dengan adanya Al Atho’ atau pemberian maka akan terdapat sebuah jarak antara hamba dan Tuhannya dimana jarak itu adalah “pemberian” itu sendiri, Selain itu dengan adanya pemberian maka pemberian itu secara tak langsung akan menjadi perantara antara hamba dan Tuhannya, dan tentu saja seorang hamba yang mencari kedekatan dengan Tuhan tak ingin ada sesuatu yang menjadi perantara dia dan Tuhannya , Mereka ingin suatu hubungan langsung dengan Tuhannya tanpa perantara apapun, Hal ini tentu saja berbeda dengan Al man’u, Karena penolakan adalah suasana yang langsung dari Tuhan, Kenapa dikatakan langsung??, dikarenakan penolakan itu turun tanpa perantara baik itu perantara objek atau subjek, selain berfungsi sebagai penghilang jarak Al man’u juga berfungsi sebagai pelebur Ego atau Nafsu. Ego yang kita miliki selalu memiliki keinginan dan keinginan itu tentunya tak pernah kita tahu akan dampak positive dan negativnya bagi kita, Tak adanya data yang lengkap kembali menjadi penyebab yang menyebabkan ketidaktahuan atas dampak keinginan kita, atas dasar inilah seharusnya kita tak melonjak untuk memprotes Tuhan atas Al man’u yang menimpa kita.
Keinginan adalah suatu tanda bahwa seseorang itu masih memiliki ego karena ego timbul dari keinginan atau sebaliknya (hal itu belum saya teliti hahah) tapi intinya antara keinginan dan ego memiliki hubungan timbal balik, dan tentu saja egolah yang membuat seseorang itu menjadi susah atau bahagia, jika keinginan kita terpenuhi maka kita bahagia dan jika keinginan kita tak terpenuhi maka kita menjadi sedih hal itu membuktikan orang tersebut masih memiliki ego, ego akan hilang dengan meleburnya keinginan dan jika keinginan telah lebur maka kesedihan dan kebahagiaan tak lagi kita rasakan, dalam Tasawuf inilah yang disebut keadaan Fana’ dimana kebahagiaan dan kesedihan tak lagi kita rasakan yang ditandai dengan leburnya ego kita.
Mari kita ambil contoh,”Iqbal (nama teman saya hahaha) berkeinginan untuk sholat berjamaah di masjid, kemudiah keinginan itu terwujud dan akhirnya dia bisa melakukan shalat berjamaah di masjid, dan Iqbal pun senang” , Kemudian contoh kedua “Iqbal berkeinginan untuk shalat berjamaah di masjid akan tetapi Iqbal ketiduran dan dia tidak bisa melakukan sholat berjamaah di masjid maka Iqbal pun menjadi sedih”. Nah.. dari contoh diatas mari kita bahas bersama-sama, Suasana senang yang dialami oleh Iqbal tetap boleh dilakukan oleh Iqbal selama dalam suasana itu dia tetap menyadari bahwa dia bisa melakukan amal berupa berjamaah di masjid itu murni Al Atho’ dari Tuhan, jadi ada unsur pelepasan ego disini yaitu dalam bentuk pelepasan keakuan bahwa “Iqbal bisa sholat berjamaah di masjid karena dia sendiri”, Dan tentunya keakuan itu terjadi dikarenakan ego dan ego disini bermula dari keinginan, jadi intinya setiap amal yang masih memiliki ego harus disucikan terlebih dahulu egonya sebelum bisa menjadi amal yang sempurna, selama amal itu masih terkandung unsur ego atau keakuan maka amal itu akan cacat, dan tentu saja jika amal itu sudah cacat maka kegembiraan Iqbal menjadi kegembiraan yang salah. Jadi pada contoh pertama ini ketika datangnya Al Atho’ maka diperlukan suatu perjuangan lagi agar kita tak terpeleset dalam jurang kesalahan
Kemudian kita ambil contoh kedua,Didalam contoh ini Iqbal digambarkan sedih karena ia tak bisa melakukan sholat berjamaah. Sekali lagi perlu kita ketahui bahwa bisa melakukan sholat berjamaah adalah suatu Atho’ atau pemberian, maka jika iqbal tidak bisa melakukan sholat berjamaah berarti dia mengalami sebuah Man’u atau penolakan dari Tuhan, yang saya soroti adalah ketika iqbal bersedih karena tak bisa melakukan sholat berjamaah, seharusnya dalam hal ini iqbal tidak perlu bersedih karena jika ia memahami kebijakan dibalik dia tidak bisa melakukan sholat berjamaah sesungguhnya terdapat berbagai macam hikmah, jika kita analisis lagi ketidakbisaan Iqbal untuk sholat berjamaah adalah murni suatu penolakan dari Tuhan, Dan penolakan ini meleburkan sikap ego dari Iqbal, dengan tidak bisa melakukan sholat berjamaah maka keakuan iqbal terhadap amal akan hilang, karena iqbal tidak melakukan amal, dan yang kedua bagaimanapun juga penolakan dari Tuhan terhadap Iqbal untuk tidak bisa sholat berjamaah adalah murni kehendak Tuhan bukan kehendak Iqbal, jadi sudah tentu lebih mulia kehendak dari Tuhan dari pada kehendak Iqbal berarti dalam kondisi ini Iqbal telah mendapatkan pilihan dari kehendak Tuhan, Dan tentunya sesuatu yang telah dipilihkan Tuhan adalah pilhan paling terbaik. Lalu yang kedua jika kita lihat dari contoh diatas keegoan Iqbal sirna dan tidak berperan sama sekali dikarenakan keinginannya tak terwujud maka jika Iqbal mau menerima kejadian itu dengan tidak bersedih maka amal iqbal yang berupa menerima penolakan tersebut akan menjadi amal yang sempurna,atau amal yang dilakukan tanpa adanya ego sehingga murni dari tuhan,dan tentunya hanya dengan bermodal menerima kejadian tersebut amal kita sudah menjadi sempurna tanpa harus susah-susah berjuang terlebih dahulu untuk menghilangkan ego sendiri seperti contoh pertama.
Inilah menurut saya makna dari kutipan kalimat dalam Kitab Hikam pada awal pembahasan kita, dimana seandainya kita mau untuk lebih memahami peristiwa penolakan yang kita hadapi maka sesungguhnya kesedihan itu tak perlu terjadi, dua contoh diatas adalah contoh dalam hal amal ketaatan dan jika kita ambil contoh dari hal lain selain amal ketaatan teori ini tetap bisa kita gunakan, misalnya kita ambil contoh penolakan saat cita-cita kita gagal, atau saat kita dalam keaadan drop, atau peristiwa-peristiwa lain yang membuat kita bersedih, yang menjadi penekanan bagi kita adalah “kita harus menerima setiap hal yang datang kepada kita baik hal itu sesuai dengan keinginan kita atau hal itu tak sesuai dengan keinginan kita karena pada hakikatnya setiap yang datang pada kita adalah Pemberian”, so kembali pada konsep diatas jika yang datang Al atho’ maka tak ada alasan untuk bersedih, jadi tetaplah bergembira….
(Setidaknya ini menurut saya, mohon maaf atas kekurangannya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar