Dahulu ketika manusia ingin berinteraksi sosial dengan manusia lain, percakapan langsung face to face menjadi pilihan utama, Wajah diakui ataupun tidak menjadi modal penting dalam pola hubungan interaksi manusia, setidaknya dalam berinteraksi baik dengan teman ataupun orang baru, kita menangkap adanya semacam aturan tidak tertulis untuk menjaga tampilan kita yang secara sentral terletak di wajah. Berawal dari kebutuhan untuk menjaga penampilan wajah maka lahirlah industri kosmetik, yang kemudian mencapai titik puncaknya bersama dengan industri perfilman.
Pada saat ini arena pertemuan manusia guna saling berinteraksi tidak hanya terjadi di dunia nyata, dunia maya menjadi salah satu tempat favorit bagi manusia untuk berinteraksi, penampilan dan wajah tetap memegang peran dominan dalam menentukan pola interaksi manusia. Demikian pentingnya peranan wajah sampai kemudian dipopulerkan tehnik pengabadian momen (Kamera) yang mampu menghasilkan produk lain yang bernama Foto, saat ini foto merupakan sarana pengganti wajah dalam dunia maya, Foto sengaja diciptakan guna mengantisipasi ketidakhadirnya wajah, lalu kemudian mulailah berkembang pandangan dalam berfikir kita bahwa Foto adalah wajah.
Foto sebagai Citra
Dalam dunia maya pandangan ini memang sah dan dapat dibenarkan, akan tetapi Foto bukanlah wajah kita di dunia nyata, kembali ke Foto, paradigma Foto sebagai wajah di dunia maya kemudian memicu timbulnya produk aplikasi-aplikasi perawatan Foto yang nampaknya perannya hampir sama dengan kosmetik di dunia nyata, jika kita mengenal lipstik dalam dunia nyata maka kita akan mengenal Instagram di dunia maya. Aplikasi-apikasi tersebut sengaja diciptakan guna menunjang interaksi sosial kita dalam dunia maya.
Akan tetapi The Real (meminjam konsep Baudrillard) tidak berada dalam tataran konstelasi dunia maya (simulasi), The Real sendiri terlepas dari dunia maya (simulasi). Baudrillard menegaskan bahwa, logika yang berlaku dalam simulasi sama sekali tidak berhubungan dengan logika realitas yang sesungguhnya sehingga dalam ruang simulasi semua hal menjadi nyata dengan tiba-tiba, Hukum logika tidak berpengarung dalam ruang ini. Kesadaran yang dibentuk oleh realitas semu (citra) adalah kesadaran dalam bentuk simulasi.
Dengan kata lain Logika akan senyuman di foto si A, bukanlah senyum sesungguhnya di alam realitas, senyum dalam dunia maya (simulasi) berbeda dimensi dengan dunia realitas (The real). Meskipun penggunaan Citra awalnya digunakan untuk mencerminkan realita, akan tetapi citra kemudian berubah membentuk ruang simulasi seutuhnya dikarenakan citra merupakan “penanda” (meminjam konsep Deridda) yang memiliki kecenderungan berbeda dengan “tanda”
Akhirnya jika kita masuk dalam komunitas jejaring sosial untuk mendapatkan teman-teman baru misalkan Facebook atau Twitter dsb, yang paling banyak kita temui disana merupakan merupakan kumpulan citra, foto mewakili citra sebagai penanda untuk menunjukkan Wajah yang mewakili realitas, wajah manusia di Facebook dan Twitter kemudian akan lenyap dari realitas yang kemudian tergantikan oleh citra-citra yang berbentuk foto.
Foto dan Narsisme
Mungkin tidak hanya berhenti disana, foto saat ini juga mampu masuk dalam lingkup keperibadian masyarakat kita, Kita tidaklah asing dengan fenomena Narsis dikalangan kita sendiri, Suatu fenomena kecintaan pada diri yang berlebihan layaknya Narcissus yang tenggelam di sungai dikarenakan terlampau mengagumi ketampanannya sendiri yang tercerminkan di air sungai dalam mitology yunani.
Foto merupakan sarana yang sesuai guna menyalurkan hasrat narsisme kita, tak perlu mencari sungai seperti Narcissus, foto saat ini mampu menampilkan cermin diri dengan sangat sempurna tinimbang air sungai. Kegemaran kita akan koleksi foto-foto pribadi kita, tak pelak mampu merangsang timbulnya kepribadian yang narsis, pribadi narsisme bukanlah pribadi yang sehat, dan hal ini harus ditekankan kepada masyarakat kita agar menyadari bahaya foto yang mampu membangun rasa kecintaan diri secara berlebihan.
Fenomena narsisme yang menjamur di jejaring sosial merupakan suatu pertanda bagi kita, pertanda akan matinya kepekaan sosial dan kepedulian sosial dalam masyarakat kita, bayangkan betapa sulitnya saat ini berbicara dengan si cantik yang narsis di ruang cat jejaring sosial, kita bisa memahami sendiri pernyataan tersebut, hal ini dikarenakan fenomena tersebut memang terjadi dan berubah menjadi fenomena umum. Akun si cantik dengan ribuan koleksi foto diri yang telah teracuni oleh penyakit kepribadian yang bernama narsisme, merupakan sosok lemari besi, yang butuh puluhan kunci kode angka untuk membuatnya bicara.
Foto sebagai pemicu lahirnya pribadi-pribadi narsis haruslah terus di evaluasi keberadaannya, sebelum melahirkan fenomena- fenomena yang lebih aneh lagi, kejanggalan-kejanggalan yang merugikan di masyarakat kita harus mampu kita antisipasi terlebih dahulu sebelum memasuki taraf akut. Taraf akut dapat terjadi jika kebiasaan foto narsisme sudah di integrasikan dalam kehidupan kita sehari- hari, kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi suatu kekuasaan, Dimana akhirnya dengan kekuasaan tersebut mampu menghasilkan seperangkat pandangan yang diterima oleh masyarakat yang biasa disebut doxa (meminjam istilah bourdieu).
Foto narsisme dan habitus
Bourdieu memandang kekuasaan dalam konteks teori masyarakat, dimana ia melihat kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus-menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya 'habitus' atau norma disosialisasikan atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berpikir.
Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi (kumpulan perspektif-perspektif) abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Jadi Habitus tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Foto narsisme yang telah menjadi habitus dikawatirkan dapat membentuk doxa sehingga dengan begitu mampu diterima masyarakat dan menjadi kebudayaan baru yang diterima oleh masyarakat, sehingga keberadaannya dianggap wajar dam kehidupan kita.
Bourdieu juga mengatakan bahwa Habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur masyarakat (strukturalis), tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu, disposisi yang keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak sadar oleh masyarakat sehingga dengan sendirinya masyarakat melakukan aktivitas yang dihasilkan oleh habitus mereka. Pencegahannya tentu saja dengan jalan menghambatnya mulai sekarang, tidak perlu sebelum menjadi habitus, sebelum fenomena ini menjadi doxa hal ini haruslah dicegah, narsisme akan menjadi doxa jika tidak pernah ada evaluasi kritik terhadap kebiasaan tersebut, di sini pentingnya kontrol masyarakat dalam menghambatnya, kritik dan evaluasi terhadap generasi muda kita dalam bernarsis ria harus mulai dilakukan baik di level masyarakat ataupun di level pendidikan, pendidikan memegang peran penting dalam menentukan persepsi, oleh karena itu hendaknya pendidikan mampu mengkonstruksi pribadi peserta didiknya dengan persepsi-persepsi humanis dan non narsisme.
Pada saat ini arena pertemuan manusia guna saling berinteraksi tidak hanya terjadi di dunia nyata, dunia maya menjadi salah satu tempat favorit bagi manusia untuk berinteraksi, penampilan dan wajah tetap memegang peran dominan dalam menentukan pola interaksi manusia. Demikian pentingnya peranan wajah sampai kemudian dipopulerkan tehnik pengabadian momen (Kamera) yang mampu menghasilkan produk lain yang bernama Foto, saat ini foto merupakan sarana pengganti wajah dalam dunia maya, Foto sengaja diciptakan guna mengantisipasi ketidakhadirnya wajah, lalu kemudian mulailah berkembang pandangan dalam berfikir kita bahwa Foto adalah wajah.
Foto sebagai Citra
Dalam dunia maya pandangan ini memang sah dan dapat dibenarkan, akan tetapi Foto bukanlah wajah kita di dunia nyata, kembali ke Foto, paradigma Foto sebagai wajah di dunia maya kemudian memicu timbulnya produk aplikasi-aplikasi perawatan Foto yang nampaknya perannya hampir sama dengan kosmetik di dunia nyata, jika kita mengenal lipstik dalam dunia nyata maka kita akan mengenal Instagram di dunia maya. Aplikasi-apikasi tersebut sengaja diciptakan guna menunjang interaksi sosial kita dalam dunia maya.
Akan tetapi The Real (meminjam konsep Baudrillard) tidak berada dalam tataran konstelasi dunia maya (simulasi), The Real sendiri terlepas dari dunia maya (simulasi). Baudrillard menegaskan bahwa, logika yang berlaku dalam simulasi sama sekali tidak berhubungan dengan logika realitas yang sesungguhnya sehingga dalam ruang simulasi semua hal menjadi nyata dengan tiba-tiba, Hukum logika tidak berpengarung dalam ruang ini. Kesadaran yang dibentuk oleh realitas semu (citra) adalah kesadaran dalam bentuk simulasi.
Dengan kata lain Logika akan senyuman di foto si A, bukanlah senyum sesungguhnya di alam realitas, senyum dalam dunia maya (simulasi) berbeda dimensi dengan dunia realitas (The real). Meskipun penggunaan Citra awalnya digunakan untuk mencerminkan realita, akan tetapi citra kemudian berubah membentuk ruang simulasi seutuhnya dikarenakan citra merupakan “penanda” (meminjam konsep Deridda) yang memiliki kecenderungan berbeda dengan “tanda”
Akhirnya jika kita masuk dalam komunitas jejaring sosial untuk mendapatkan teman-teman baru misalkan Facebook atau Twitter dsb, yang paling banyak kita temui disana merupakan merupakan kumpulan citra, foto mewakili citra sebagai penanda untuk menunjukkan Wajah yang mewakili realitas, wajah manusia di Facebook dan Twitter kemudian akan lenyap dari realitas yang kemudian tergantikan oleh citra-citra yang berbentuk foto.
Foto dan Narsisme
Mungkin tidak hanya berhenti disana, foto saat ini juga mampu masuk dalam lingkup keperibadian masyarakat kita, Kita tidaklah asing dengan fenomena Narsis dikalangan kita sendiri, Suatu fenomena kecintaan pada diri yang berlebihan layaknya Narcissus yang tenggelam di sungai dikarenakan terlampau mengagumi ketampanannya sendiri yang tercerminkan di air sungai dalam mitology yunani.
Foto merupakan sarana yang sesuai guna menyalurkan hasrat narsisme kita, tak perlu mencari sungai seperti Narcissus, foto saat ini mampu menampilkan cermin diri dengan sangat sempurna tinimbang air sungai. Kegemaran kita akan koleksi foto-foto pribadi kita, tak pelak mampu merangsang timbulnya kepribadian yang narsis, pribadi narsisme bukanlah pribadi yang sehat, dan hal ini harus ditekankan kepada masyarakat kita agar menyadari bahaya foto yang mampu membangun rasa kecintaan diri secara berlebihan.
Fenomena narsisme yang menjamur di jejaring sosial merupakan suatu pertanda bagi kita, pertanda akan matinya kepekaan sosial dan kepedulian sosial dalam masyarakat kita, bayangkan betapa sulitnya saat ini berbicara dengan si cantik yang narsis di ruang cat jejaring sosial, kita bisa memahami sendiri pernyataan tersebut, hal ini dikarenakan fenomena tersebut memang terjadi dan berubah menjadi fenomena umum. Akun si cantik dengan ribuan koleksi foto diri yang telah teracuni oleh penyakit kepribadian yang bernama narsisme, merupakan sosok lemari besi, yang butuh puluhan kunci kode angka untuk membuatnya bicara.
Foto sebagai pemicu lahirnya pribadi-pribadi narsis haruslah terus di evaluasi keberadaannya, sebelum melahirkan fenomena- fenomena yang lebih aneh lagi, kejanggalan-kejanggalan yang merugikan di masyarakat kita harus mampu kita antisipasi terlebih dahulu sebelum memasuki taraf akut. Taraf akut dapat terjadi jika kebiasaan foto narsisme sudah di integrasikan dalam kehidupan kita sehari- hari, kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi suatu kekuasaan, Dimana akhirnya dengan kekuasaan tersebut mampu menghasilkan seperangkat pandangan yang diterima oleh masyarakat yang biasa disebut doxa (meminjam istilah bourdieu).
Foto narsisme dan habitus
Bourdieu memandang kekuasaan dalam konteks teori masyarakat, dimana ia melihat kekuasaan sebagai budaya dan simbolis dibuat, dan terus-menerus kembali dilegitimasi melalui interaksi agen dan struktur. Cara utama ini terjadi adalah melalui apa yang disebutnya 'habitus' atau norma disosialisasikan atau kecenderungan bahwa perilaku panduan dan berpikir.
Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi (kumpulan perspektif-perspektif) abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka. Jadi Habitus tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Foto narsisme yang telah menjadi habitus dikawatirkan dapat membentuk doxa sehingga dengan begitu mampu diterima masyarakat dan menjadi kebudayaan baru yang diterima oleh masyarakat, sehingga keberadaannya dianggap wajar dam kehidupan kita.
Bourdieu juga mengatakan bahwa Habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur masyarakat (strukturalis), tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu, disposisi yang keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, dan bentuk praktik dan struktur saat ini. Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi secara tidak sadar oleh masyarakat sehingga dengan sendirinya masyarakat melakukan aktivitas yang dihasilkan oleh habitus mereka. Pencegahannya tentu saja dengan jalan menghambatnya mulai sekarang, tidak perlu sebelum menjadi habitus, sebelum fenomena ini menjadi doxa hal ini haruslah dicegah, narsisme akan menjadi doxa jika tidak pernah ada evaluasi kritik terhadap kebiasaan tersebut, di sini pentingnya kontrol masyarakat dalam menghambatnya, kritik dan evaluasi terhadap generasi muda kita dalam bernarsis ria harus mulai dilakukan baik di level masyarakat ataupun di level pendidikan, pendidikan memegang peran penting dalam menentukan persepsi, oleh karena itu hendaknya pendidikan mampu mengkonstruksi pribadi peserta didiknya dengan persepsi-persepsi humanis dan non narsisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar