Untuk "Pencipta" filosofisku, simbol,tanda dan makna terliputi dalam wilayahMu.

Jumat, 19 September 2014

Negara sebagai Leviathan (Thomas Hobbes)


Polemik pembahasan RUU pilkada di DPR, membuat ramai berbagai pihak, Bebbagai akan pengguna jajaring sosial mulai unjuk suara, pro dan kontra tak dapat dihindari, tinggal bagaimana kebijaksanaan dalam berargumen yang dapat memadamkan konflik menampakkan kekuatannya. Proses perdebatan akan RUU pilkada sejatinya merupakan gambaran akan tidak jelasnya arah kompas demokrasi bangsa kita, Bangsa kita kini di hadapkan dengan 2 pilihan, Demokrasi liberal ala Lincoln ataukah demokrasi Pancasila khususnya sila ke 4. Untuk menentukan arah demokrasi suatu bangsa dipandang perlu, dikarenakan ibarat Perahu, Indonesia butuh tujuan yang jelas dalam berkenegaraannya, tak terombang-ambing dan tersesat dalam gelombang laut globalisasi.

Negara bagi Filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) terdiri dari elemen-elemen yang membentuknya, kunci dari pemikiran Hobbes tentang negara ialah: Pemerintah, kekuasaan ,hukum dan rakyat. Negara dibangun berdasarkan fondasi tersebut yang selanjutnya akan dijelaskan dalam pemikirannya
Hobbes mengibaratkan Negara sebagai Leviathan, sejenis monster (mahkluk raksasa) yang ganas, menakutkan dan bengis yang terdapat dalam kisah perjanjian lama). Mahkluk ini selalu mengancam keberadaan mahkluk-mahkluk lainnya, dan dipatuhi perintahnya.Maka dari penggambaran tersebut seharusnya negara muncul sebagai pihak yang tegas dalam menindak pelanggar hukum dan negara harus menjelma sebagai pihak yang ditakuti dan dihormati oleh rakyatnya. Hobbes berpendapat manusia dalam keadaan alamiah bukanlah merupakan makhluk yang gemar bersosialisasi dengan sesamanya  (social animal) seperti yang dikemukakan aristoteles. Menurut Hobbes manusia merupakan makhluk yang dipenuhi oleh hasrat, sehingga ibarat tidak ada waktu istirahat bagi manusia, hal ini dikarenakan manusia selalu diburu oleh hasratnya untuk memiliki dan menaklukkan sehingga naluri manusia mendorong seseorang untuk berkompetisi atau berperang. Keadaan itulah yang kemudian ‘memaksa’ akal manusia untuk mencari kehidupan alternatif yang lebih baik dimana manusia dapat mengekang hawa nafsunya.

Kehidupan alternative itu ditentukan Hobbes setelah manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk Negara. Negara sebagai gambaran ide solutif bagi hasrat manusia menurut Hobbes merupakan produk nalar manusia yang dapat membimbing orang untuk bersama dalam kekuasaan bersama. Atas dasar penalaran itulah manusia merasa membutuhkan ‘kekuasaan bersama’ yang bisa menghindari pertumpahan darah. Hobbes berpendapat bahwa terbentuknya sebuah Negara atau kedaulatan pada hakikatnya sebuah kontrak atau perjanjian sosial. dalam perjanjiannya itu manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada seorang penguasa Negara atau semacam dewan rakyat. Dalam perjanjian itu juga disepakati untuk tidak saling menyerang dan hidup mematuhi undang-undang. Hanya ada satu hak yang tidak diserahkan kepada Negara, hak mempertahankan diri. Perjanjian tersebut dilakukan antara individu dengan individu, bukan individu dengan Negara. Jadi Negara bebasa dari keterikatan janji. Negara bebas melakukan apapun yang dikehendakinya, terlepas apakah sesuai atau tidak dengan kehendak individu. Negara versi Hobbes tidak memiliki tanggung jawab apaun terhadap rakyat.

Apa yang dianggap nilai-nilai kebenaran haruslah sesuai dengan yang ditentukan Negara. Hak atas pemilikan kekayaan dapat disita Negara kapanpun bila Negara menghendakinya. Kedekatan kepada Negara akan berarti kemudahan memperoleh akses atau kekayaan. Yang menarik ialah menurut Hobbes pengangkatan jabatan-jabatan guna memperlancar kinerja pemerintahan, dan lainnya merupakan hak perogratif Negara, dengan kata lain Nepotisme dilegalkan dalam doktrin Hobbes. Dalam hal lain jika dalam hal orang ingin memperoleh kekayaan maka orang tersebut haruslah dekat dengan pemerintah.
Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaannya tidak boleh terbelah. Kekuasaan terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama dalam Negara. Menurut Hobbes, Dalam hal ini Trias politis harus dikaji kembali jika dihubungkan dengan pemikiran Hobbes.  Pemisahan kekuasaan hanya akan menimbulkan konflik hal ini disebabkan keputusan yang dihasilkan tidaklah bulat dalam pandangan Hobbes. Negara despotis itu masih jauh lebih baik daripada terjadinya anarki akibat terbelahnya kekuasaan Negara.

Pada akhirnya ia memperoleh kesimpulan bahwa Negara kekuasaan yang memiliki sifat-sifat Leviathan-kuat, kejam dan ditakuti-merupakan pemecahan masalah terbaik untuk menghadapi persoalan itu. Kepatuhan total merupakan esensi utama Negara kekuasaan. Hobbes memang tidak mengemukakan secara jelas menegenai bentuk Negara terbaik, bagi hobbes bentuk Negara apapun baik, asal kekuasaan nya tidak terbagi-bagi. Dengan logika yang sama Hobbes juga tidak setuju dengan Negara demokrasi, karena demokrasi menuntut adanya pluralism politik, kekuasaannya terbelah, dan menurut Hobbes itu yang menjadi cikal bakal terjadinya konflik kekuasaan. Dan masih menurut Hobbes, monarki absolute dengan hanya memiliki seorang penguasa adalah bentuk Negara terbaik. Sebab Negara dengan seorang penguasa akan bisa tetap konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkannya. Untuk menunjang kekuasaannya, seorang penguasa monarki absolut memiliki hak-hak istimewa.

Nampaknya dalam pemikiran Hobbes jika dikaji secara katul dengan kondisi kekinian maka Polemik RUU pilkada merupakan masalah yang di timbulkan dari buah sistem demokrasi negara kita, Trias Politica dalam prinsip pembagian kekuasaannya merupakan pemicu terjadinya konflik semisal RUU pilkada ini. Negara bagi Hobbes haruslah diktator guna menentukan apa yang terbaik bagi rakyatnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar